Kalau melihat nasib rupiah, bisa dibilang zaman sekarang tak lebih baik dari masa akhir Orde Baru. Lihat saja, pada perdagangan di pasar spot, Kamis (4/6) lalu, rupiah longsor ke level Rp 13.281 per dollar Amerika Serikat (AS). Ini titik terendah dalam 17 tahun terakhir, tersentuh sejak Agustus 1998 silam.
Pelemahan rupiah sepanjang pekan lalu disebabkan kombinasi faktor internal maupun eksternal. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, mengatakan, pelemahan rupiah akibat tingginya inflasi Mei 2015. Pelaku pasar menaksir, inflasi Juni bakal lebih tinggi lagi lantaran kenaikan harga barang-barang menjelang puasa dan Lebaran. “Permintaan dollar AS juga masih tinggi karena kenaikan impor dan repatriasi dividen,” imbuhnya.
Dari luar negeri, analis pasar uang Bank Mandiri Reny Eka Putri, bilang, rupiah terpukul oleh beberapa data ekonomi AS yang membaik. Defisit neraca perdagangan AS pada April 2015 turun menjadi US$ 40,9 miliar. Jumlah tenaga kerja swasta di luar sektor pertanian per Mei 2015 naik menjadi 210.000 orang. “Rupiah juga tertekan ketidakpastian penyelesaian utan Yunani,” katanya.
Pekan ini, pergerakan rupiah didominasi sentimen global. Yaitu data-data AS, seperti penjualan ritel, pengangguran, dan indeks harga produsen. Dari dalam negeri, rupiah akan dipengaruhi data cadangan devisa yang dirilis akhir pekan lalu dan proyeksi BI rate pekan depan.
David menduga, rupiah pekan ini di rentang Rp 13.200-Rp 13.300 per dollar AS. Sementara Reny menebak, rupiah di kisaran Rp 13.180-Rp 13.290.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar