Hari-hari ini kita sungguh diharu biru oleh wacana tax amnesty alias pengampunan pajak. Wacana ini muncul tak lama berselang dengan pengumuman 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak. Belum sempat program itu tersosialisasi dengan baik, perhatian publik sudah tersita oleh tax amnesty.
Meski masih sebatas wacana, ide tax amnesty layak dicermati karena kompleksitas dan kerumitannya. Kegagalan mengurai dengan jernih lapisan masalah dan tarik-menarik kepentingan yang ada dalam tax amnesty bisa menimbulkan kerugian besar bagi upaya membangun sistem perpajakan yang baik di negeri ini.
Sejatinya, tax amnesty bukan barang yang baru di jagad perpajakan. Negara maju dengan sistem perpajakan yang matang lazim menerapkan tax amnesty, tidak terkecuali Amerika Serikat (AS).
Jantung pro dan kontra penerapan tax amnesty di sini bukan apakah ide ini baik atau buruk, melainkan belum ada fakta empirik yang meyakinkan bahwa kebijakan itu dijamin berhasil. Hasil penelitian IMF menunjukkan bahwa peluang keberhasilan dan kegagalan penerapan tax amnesty cukup berimbang. Menghadapi realitas semacam ini, kita dituntut untuk piawai melakukan kontekstualisasi best practices.
Ada lima tujuan tax amnesty yang lazim disebut. Pertama, meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek. Kedua, menambah jumlah wajib pajak. Ketiga, mengintegrasikan sektor informal ke dalam sistem perekonomian. Keempat, memanfaatkan dana yang tidak terpakai. Kelima, langkah awal kebijakan rezim baru untuk menerapkan sanksi yang lebih besar.
Bagi sebagian pihak, selain mendatangkan manfaat, tax amnesty juga memiliki sisi negatif. Keburukan itu seperti menurunkan persepsi tentang fairness, menggambarkan ketidakseriusan penegakan hukum terhadap pengemplangan pajak, dan menunjukkan lemahnya administrasi pajak.
Kisah keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan tax amnesty pun patut diperhatikan dengan saksama. Negara maju seperti Irlandia pada 1988 berhasil menggaet US$ 750 juta, jauh di atas target yang mereka pasang saat menggulirkan tax amnesty, yaitu US$ 50 juta. Italia menangguk US$ 12 milyar melalui dua kali program pengampunan. AS yang menggelar tax amnesty di 41 negara bagiannya mendapatkan tambahan penerimaan hingga US$ 5,3 milyar.
Namun cerita yang berbeda datang dari negara berkembang. Das Gupta dan Mokherjee (1995) menemukan fakta bahwa pengampunan pajak di India tidak berhasil meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan. Studi yang dilakukan Najeeb Memon tahun ini bahkan menunjukkan fakta mengkhawatirkan, yakni sebagian besar pelaksanaan tax amnesty di negara berkembang tidak berhasil dan di jangka panjang cenderung merugikan penerimaan negara itu sendiri.
Persoalan terbesar yang dihadapi negara berkembang adalah lemahnya administrasi perpajakan. Akibatnya, data akurat yang dimiliki otoritas pajak sangat terbatas; serta tingginya ketidakpastian hukum hingga kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Jika tujuan dan kontroversi di atas diperhatikan dengan cermat, jelas tax amnesty adalah kebijakan yang bersifat one size doesn’t fit all.
Hasil yang berbeda dari pengampunan pajak di negara maju dengan kebijakan serupa di negara berkembang seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah Indonesia untuk berhati-hati dengan tax amnesty. Kemampuan mengidentifikasi persoalan domestik dan memetakan tantangan dan kebutuhan bagi perbaikan sistem perpajakan merupakan keniscayaan.
Indonesia menghadapi kenyataan bahwa target penerimaan pajak selama 2009-2014 tidak pernah tercapai. Bahkan, persentase realisasi penerimaan pajak semakin menurun. Target penerimaan pajak untuk tahun 2015 dikerek tinggi hingga menimbulkan kesan ambisius karena tidak sesuai dengan kondisi riil perpajakan.
Tak berbeda dengan negara berkembang lain, Indonesia juga menghadapi lima masalah perpajakan, seperti masih lemahnya administrasi perpajakan. Lalu, partisipasi warganegara sebagai pembayar pajak masih rendah; padahal kegiatan ekonomi sektor informal tinggi. Dua masalah lain adalah kebijakan dan aturan perpajakan yang belum harmonis dan sinkron, serta tingginya tingkat penghindaran pajak.
Global Financial Integrity (2014) mencatat Indonesia adalah negara terbesar kedelapan yang memiliki aliran uang haram senilai US$ 18 juta. Selain itu, Indonesia menempati peringkat kesembilan dalam daftar negara yang penduduknya menempatkan aset di negara suaka pajak. Nilainya US$ 331 milyar. Menurut Tax Justice Network (2010), angka itu tak menghitung potensi penerimaan pajak dari sektor informal yang besarnya tak kurang dari Rp 40 triliun per tahun.
Di tengah kebutuhan akan penerimaan pajak yang tinggi dan data penghindaran pajak yang fantastis, ide tax amnesty memperoleh pembenaran. Apalagi, jika wacana itu dibumbui kisah sukses di berbagai negara. Namun sebelum melangkah terlalu jauh, seharusnya para pengambil kebijakan menjawab pertanyaan reflektif berikut.
Pertama, apakah kita telah sungguh-sungguh setia pada visi reformasi pajak yakni membangun sistem pajak yang berkeadilan demi kesejahteraan rakyat? Kedua, apakah kebijakan dan aturan perpajakan itu telah mempertimbangkan prinsip ability-to-pay, fairness, dan kepastian hukum?
Ketiga, apakah penegakan hukum selama ini berlangsung secara konsisten dan dilakukan dengan komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kepatuhan pajak, serta mendapat dukungan penuh dari segenap institusi penegak hukum? Keempat, apakah kita sudah memenuhi berbagai prasyarat penting untuk melakukan tax amnesty, seperti pengumpulan data perpajakan, inisiasi Single Identification Number (SIN), akses fiskus ke transaksi keuangan yang mencurigakan?
Kita harus jujur mengakui bahwa kita belum cukup serius untuk merumuskan beberapa kebijakan strategis dan menjalankannya secara konsisten dan penuh komitmen. Sembari membiarkan gagasan tax amnesty bergulir dalam diskursus publik, seyogianya pemerintah mempertimbangkan berbagai pro kontra dengan bijak.
Kita butuh persiapan yang cukup untuk mengumpulkan data, menyiapkan payung hukum yang memadai, dan administrasi perpajakan agar kepatuhan dan penerimaan pajak meningkat, begitu program tax amnesty tuntas. Tanpa itu, bisa jadi kita tidak menggagas pengampunan pajak melainkan pengampuan pajak, karena terhadap koruptor pun jauh-jauh hari sudah kita siapkan karpet merah dan menampakkan tanda-tanda menyerah.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar