Alarm Krisis Keuangan Telah Menyala

Glass globe with stock chart

Beberapa pekan terakhir, rupiah mulai diperdagangkan di level Rp 13.000-an, mirip seperti kejadian di krisis 1998. Dibandingkan posisi awal tahun, nilai rupiah kali ini telah turun hingga 7% lebih. Meski Bank Indonesia sudah melakukan berbagai upaya peredaman, termasuk aksi beli Surat Berharga Negara yang merupakan langkah intervensi, namun masih belum mampu meredam aksi pelemahan ini.

Sejumlah isu nasional, regional, dan global disebut-sebut memberikan pengaruh negatif pada mata uang lokal. Krisis di Yunani yang belum berakhir serta rencana The Fed menaikkan suku bunga adalah dua hal yang mendera rupiah. Gejolak ekonomi dalam negeri juga mempunyai andil besar dalam pergerakan kurs. Kurang harmonisnya kebijakan antar lembaga pemerintah kini menjadi faktor utama pemicu ketidakpastian. Realitas itu secara implisit menunjukkan bahwa alarm krisis keuangan di Indonesia sudah menyala. Langkah antisipasi siaga satu mutlah dibutuhkan.

Pertama, perlunya strategi penguatan nilai tukar rupiah agar tidak terus merosot hingga titik kritis 9%. Sekedar perhitungan matematika ekonomi, ketika rupiah terdepresiasi hingga 9% terhadap dollar AS, dapat dipastikan terjadi perlambatan ekonomi.

Ketergantungan industri dalam negeri pada bahan baku impor cukup tinggi. Dapat dibayangkan apa yang terjadi jika rupiah diperdagangkan di level Rp 14.000-an. Dengan spread suku bunga yang terpaut sangat jauh, niscaya kalangan industri tak akan mampu menahan tingginya biaya ekonomi. Di lain sisi, pasar juga akan kehilangan daya beli sehingga ujung-ujungnya akan lebih banyak lagi pemain yang gulung tikar.

Skema insentif dan pemberian subsidi kepada industri dalam negeri diyakini efektif untuk meredam gejolak dalam jangka menengah. Demikian pula dari sisi konsumen. Wacana penambahan pendapatan tidak kena pajak hingga di atas 40% dinilai efektif menahan laju krisis, sebab dengan mekanisme tersebut, daya beli masyarakat akan meningkat sehingga mampu menyerap produk-produk industri domestik.

Strategi kedua terkait upaya pengendalian inflasi. Sudah menjadi rahasia publik bahwa kenaikan inflasi akhir-akhir ini disebabkan karena kenaikan harga bahan bakar minyak. Meski diakui jika kebijakan pelepasan subsidi mendatangkan manfaat khususnya dalam meningkatkan efektivitas alokasi dana, namun patut disadari bahwa ketergantungan masyarakat pada BBM sangat tinggi.

Membangun optimisme

Belum lagi ditambah kompleksitas dari sisi penawaran. Maraknya pendanaan murah, mudah, dan cepat, serta kebijakan mobil ramah lingkungan berbiaya rendah disebut sebagai pemicu kecepatan peningkatan sisi permintaan. Hasilnya, dalam jangka pendek ketergantungan pada BBM akan semakin tinggi.

Bercermin pada realitas itu, kedepan saat potensi pelemahan rupiah berimbas pada harga BBM, pemerintah perlu memperhatikan aspek psikologis dasar. Edukasi untuk meningkatkan financial literacy di kalangan masyarakat perlu digalakkan agar mereka dapat mengatur pola investasi dan konsumsinya secara tepat. Bila program ini dapat dilakukan secara efektif, masyarakat akan lebih ‘dewasa’ dalam mengatur pembelanjaannya. Selanjutnya dengan dukungan gerakan smart living (hemat energi serta eksplorasi energi terbarukan), pergerakan kebutuhan dan harga BBM lebih dapat dikendalikan.

Ketiga, perlu adanya rencana strategis untuk meredam kepanikan pasar yang mungkin terjadi. Sebagian kalangan meyakini hilangnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah beberapa waktu terakhir lebih disebabkan karena ketidakharmonisan hubungan antar pemangku kepentingan. Sebut saja kebijakan Bank Indonesia yang mewajibkan penggunaan rupiah pada transaksi bisnis perusahaan atau silang pendapat yang terjadi terkait suku bunga SBI.

Patut disadari bahwa paa era economic information, opini merupakan penentu pergerakan pasar. Artinya kepanikan akan mempercepat terjadinya gelombang krisis di tanah air. Karenanya, masing-masing pihak hendaknya sadar akan tanggung jawab untuk membangun optimisme, khususnya bidang ekonomi dan bisnis.

Tak ada pilihan lain kecuali memberikan kesempatan pada pemerintah segera meningkatkan efektivitas penyerapan anggaran, sehingga dunia investasi dalam negeri dapat bersemi kembali. Dengan semangat ini, niscaya segenap elemen bangsa akan mampu mematikan alarm krisis.

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar