BKF Sepakat PPN Rokok Kembali Tarif Murni 10%

rokokJAKARTA. Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas rokok belum terealisasi. Pemerintah masih melakukan pembahasan, terutama dengan pengusaha tembakau.

Kendati demikian, pemerintah memberi sinyal bahwa besaran PPN rokok akan dikembalikan menjadi tarif murni sebesar 10%. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan, dikembalikannya tarif PPN ke tarif murni lebih menguntungkan, terutama dalam hal pengawasan pajak.

Dengan tarif PPN murni, informasi distribusi tembakau menjadi lebih mudah diketahui sehingga perhitungan potensi penerimaan lebih mudah. PPN murni dikenakan atas barang kena pajak yang diserahkan oleh pengusaha kena pajak.

Karena itu nantinya pengusaha tembakau diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan pendistribusian tembakau harus menggunakan faktur elektronik. “Kalau menggunakan tarif final, kami tidak akan pernah mengetahui jalur distribusinya, NPWP-nya dan segala macam,” kata Suahasil, belum lama ini.

Seperti diketahui, selama ini tarif PPN tembakau masih bersifat efektif dan final. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 62/KMK.03/2002 tentang Dasar Penghitungan, Pemungutan, Dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau, penyerahan hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh pengusaha pabrik hasil tembakau atau hasil tembakau yang dibuat di luar negeri oleh importir hasil tembakau, dikenakan PPN.

Adapun besaran PPN yang dikenakan dihitung dengan menerapkan tarif efektif sebesar 8,4% per dikalikan dengan harga jual eceran (HJE). Adapun, HJE yakni harga penyerahan kepada konsumen akhir yang di dalamnya sudah termasuk cukai dan PPN.

Jika skema PPN murni kembali diterapkan, pengusaha meminta waktu untuk mempersiapkan seluruh jaringan distribusi. Sebab, masih ada jaringan distribusinya yang belum memiliki NPWP.

Kendati demikian, hingga saat ini belum ada keputusan final mengenai rencana ini. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, tarif PPN rokok memang harus diberlakukan secara murni, yaitu 10%. Kondisi ini relevan untuk memaksa pemasok tembakau ke pengusaha rokok terbuka dan menjadi berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Meski begitu, dengan kondisi perlambatan ekonomi saat ini, pemberlakuan kenaikan tarif PPN tentu akan memberatkan pengusaha, mengingat tembakau juga merupakan objek cukai, dimana pemerintah baru saja menaikkan tarifnya pada 1 Januari 2015.

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar