JAKARTA. Kabar sedap bagi produsen barang konsumsi lokal. Pemerintah berupaya membendung barang konsumsi impor.
Upaya ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Aturan ini menaikkan tarif bea masuk impor barang konsumsi, menjadi berkisar antara 15% hingga 150% dari nilai impor.
Aturan yang berlaku mulai 23 Juli 2015 ini menyasar lebih dari 60 kelompok barang konsumsi. Mulai dari makanan, minuman, pakaian hingga kendaraan bermotor dan perabot rumah tangga.
Pemerintah menyatakan, kenaikan tarif ini untuk melindungi industri dalam negeri sekaligus menggiring masyarakat beralih menggunakan produk lokal. Aturan itu, “Sekaligus memperkuat daya saing industri lokal,” ujar Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, Kamis (23/7).
Tak pelak, sebagian besar pengusaha menyambut gembira kebijakan ini. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gappmi) Adhi S Lukman, optimistos beleid ini bisa meningkatkan daya saing industri makanan di dalam negeri. Sebab produk makanan jadi impor kini terkena hambatan tarif lebih tinggi. “Selama ini yang kena bea masuk hanya bahan baku, produknya tidak kena,” ujar Adhi.
Ia yakin aturan ini tidak menyalahi ketentuan World Trade Organization (WTO). Tapi Adhi menyayangkan, aturan ini tak berlaku bagi barang impor dari kawasan ASEAN. Maklum, Indonesia sudah terikat dengan perjanjian perdagangan bebas sesama dengan anggota ASEAN.
Direktur PT Niramas Utama Food and Beverages Industry Erijanto Djajasudarma, juga senang mendengar beleid ini. Ia yakin, industri barang konsumsi lokal bisa berjaya dan bisa bersaing dengan produk impor asalkan mampu menjaga kualitas produk.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani pun optimistis kebijakan tersebut bakal memicu pengembangan hilirisasi produk dalam negeri. Hariyadi menilai sebagian besar produk konsumsi tersebut suudah diproduksi di dalam negeri seperti kopi olahan, teh olahan, kakao olahan, maupun buah dan sayuran.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat Usman juga menyambut baik aturan ini karena dapat meningkatkan devisa negara. Selain itu, beleid ini dinilai bisa membatasi barang-barang yang berkualitas rendah untuk masuk ke Indonesia.
Namun tujuan ini bisa meleset jika industri dalam negeri tidak bisa cepat menggantikan barang konsumsi impor. Jika tidak, kebijakan ini justru bisa menimbulkan efek beruntun bagi ekonomi. Kenaikan bea masuk impor barang konsumsi ini dapat mengerek harga jual beberapa barang konsumsi lainnya. Dus, efeknya berikutnya akan mendorong inflasi serta kian menekan daya beli dan laju ekonomi. Padahal saat ini kondisi ekonomi Indonesia tengah lesu.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengakui problema ini. Makanya, kini pemerintah memastikan produsen dalam negeri bisa terbantu dengan kebijakan ini sekaligus bisa meyediakan pasokannya di dalam negeri. Suahasil menilai kenaikan tarif ini tidak berpengaruh pada inflasi semester II 2015. Komponen inflasi terbesar masih bahan pangan pokok seperti beras, daging, cabai.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai kebijakan kali ini positif bagi ekonomi selama barang pengganti atau produk substitusi tersedia di dalam negeri. Jika barang sejenis dengan kualitas yang sama tidak tersedia, masyarakat tetap membeli barang impor meski harganya lebih mahal. “Itu yang berdampak ke inflasi,” ujarnya.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar