Penguasaan Lahan dan Harga Properti

index

Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Agraria dan Tata Ruang No. 5 Tahun 2015 yang cenderung membatasi kepemilikan lahan oleh pengembang properti. Kebijakan pemerintah tersebut patut untuk diapresiasi lebih lanjut, khususnya bila dikaitkan dengan potensi dampaknya pada keseimbangan supplydemand di pasar properti dan pergerakan harga properti sesuai dengan fundamentalnya.

Perkembangan terkini menunjukkan ketimpangan yang nyata antara demand dan supply di pasar properti. Contoh aktual adalah ludesnya penjualan properti even pada saat soft launching yang mengindikasikan ketimpangan antara demand dan supply, yang terutama didorong oleh terbatasnya supply oleh pengembang  besar.

Fenomena ini pada akhirnya mendorong kenaikan harga properti lebih lanjut. Tak mengherankan, jargon iklan “Bulan depan, harga naik.” Yang kerap digunakan oleh pengembang properti mengindikasikan keleluasan pengembang untuk menaikkan harga, namun tetap mampu menjual unit rumah tersebut.

Data terkini Survei Harga Properti Residensial Bank Indonesia (SHPR-BI) triwulan I-2015 menunjukkan masih tingginya kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) meski di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Tingginya kenaikan IHPR tersebut terutama di kota Makassar, Manado, Bandung, Banjarmasin, dan Batam, dengan kenaikan IHPR lebih besar dari 9%. Tingginya kenaikan IHPR tersebut juga terjadi pada segmen properti tipe kecil. Bahkan, beberapa kota mencatat kenaikan IHPR properti tipe kecil yang sangat tinggi, seperti Manado (21,8%) dan Batam (16,1%).

Kenaikan harga properti tersebut tidaklah terlepas dari ketidakseimbangan demand dan supply. Permintaan perumahan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas perekonomian. Selain itu, peningkatan permintaan perumahan tersebut didorong oleh cara pandang masyarakat bahwa kepemilikan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Cara pandang masyarakat tersebut terkonfirmasi pada tingginya rasio kepemilikan rumah di Indonesia. Data terkini Housing Finance Information Network (HOFINET) menunjukkan homeownership rate daerah urban di Indonesia sebesar 67%, atau 2/3 keluarga telah memiliki unit rumah yang saat ini ditinggali. Tingginya rasio kepemilikan rumah tersebut menunjukkan masih tingginya demand di pasar properti.

Penguasaan lahan

Sementara itu, dari sisi penawaran, supply perumahan meski meningkat, tapi masih di bawah tingginya permintaan perumahan. Hasil estimasi penulis menunjukkan bahwa supply perumahan baru memenuhi 80%-90% demand di pasar properti. Dengan kata lain, kondisi pasar properti menunjukkan supply constraint. Kondisi tersebut akan mendorong kenaikan harga properti menuju keseimbangan yang baru. Dalam konteks ini, dengan kondisi supply constraint, pengembang memiliki ruang untuk menaikkan harga properti sebagai akibat scarcity di pasar. Tidaklah mengherankan, dalam kondisi itu, pengembang tetap mampu menjual unit yang ditawarkkan, meski harga telah dinaikkan.

Lebih jauh, kondisi supply constraint dan ekspektasi kenaikan harga tersebut akan memiliki circular effect, yakni semakin mendorong masyarakat atas kepemilikan properti sebelum kenaikan harga lebih lanjut. Dengan kondisi supply yang masih terbatas, lonjakan permintaan properti tersebut akan memperlebar ketidakkseimbangan supplydemand. Dengan demikian, kondisi supply constraint itu memiliki peran yang signifikan dalam percepatan kenaikan harga properti.

Apabila dikaji lebih dalam, supply perumahan yang relatif terbatas tersebut tidaklah terlepas dari tingginya penguasaan lahan oleh pengembang besar dengan tingkat penggunaan lahan (stok landbank) yang relatif kecil. Berdasarkan data empiris sejak tahun 2007-2014, rata-rata penggunaan stok landbank dalam kisaran 10%. Sejalan dengan hal tersebut, pengembang besar terus melakukan penambahan stok landbank. Pada periode 2007-2014, rata-rata penambahan stok landbank dalam kisaran 25% dari tahun sebelumnya.

Pengembang besar tersebut memiliki pangsa yang besar dalam kepemilikan lahan (stok landbank) di dalam zona residensial. Dengan kondisi tersebut, rendahnya penggunaan stok landbank juga mencerminkan rendahnya supply perumahan oleh pengembang besar.

Hal ini menjadi krusial mengingat pengembang besar yang memiliki penguasaan landbank dengan tingkat penggunaan yang rendah tersebut, juga memiliki pangsa tersebesar dalam pembangunan dan penjualan rumah di pasar primer. That is, penguasaan lahan oleh pengembang besar berperan besar pada masih rendahnya supply perumahan.

Dengan kondisi ini, kebijakan pemerintah melalui Permen yang membatasi kepemilikan lahan oleh pengembang tersebut patut diapresiasi dengan baik. Permen ini mengatur izin lokasi dapat diberikan kepada perusahaan dengan luas kepemilikan lahan maksimum sebesar 400 hektare untuk usaha pengembangan perumahan dan pemukiman.

Permen tersebut pada intinya dimaksudkan untuk mencegah pembelian massal oleh suatu grup pengembang. Ketentuan ini akan meminimalisir risiko stok landbank yang dibeli tidak digunakan secara tepat, bahkan dibiarkan menganggur karena pengembang hanya mengejar kepemilikan lahan dengan harga yang murah di awal.

Melalui implementasi Permen tersebut, pengembang besar yang menguasai kepemilikan lahan diharapkan akan mengunakan stok landbank secara optimal. Sementara itu, di sisi lainnya, lahan yang masih tersedia dapat dikuasai oleh pengembang kecil lainnya untuk segera didayagunakan. Dengan demikian, secara overall, melalui implementasi Permen ini, penggunaan lahan akan lebih optimal untuk mendukung peningkatan supply perumahan. Hal ini akan berdampak lebih lanjut pada supplydemand yang lebih seimbang untuk mendukung pembentukan harga properti yang sesuai dengan fundamental permintaan dan penawaran

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar