Melindungi Nasabah dengan Tarif Wajar

teller1

Beban nasabah dalam bertransaksi di perbankan bakal sedikit berkurang. Bank Indonesia (BI) akan menerapkan batas atas biaya transaksi melalui real time gross settlement (RTGS) dan kliring. Keringanan ini mulai dirasakan nasabah mulai awal tahun depan, seiring pemberlakuan Sistem Kliring Nasional BI (SKNBI) generasi kedua.

Penerapan tarif batas atas yang aturan mainnya ketok palu Juni 2015 lalu tersebut tak lepas dari penilaian bank sentral, bahwa tarif perbankan sekarang terlalu mahal. Ada juga indikasi bank menjadikan layanan transfer uang atas RTGS dan kliring sebagai sumber pandapatan tambahan mereka.

Bandingkan saja, bank hanya membayar komisi Rp 1.000 per transaksi untuk kliring kepada BI. Sedang komisi RTGS sebesar Rp 7.500 per transaksi hingga Rp 15.000 per transaksi. Biaya tersebut merupakan biaya pengganti (cost recovery) saja. BI tidak mengenakan biaya investasi sistem pada bank.

Padahal, bank mengenakan biaya RTGS kepada nasabah antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000 per transaksi. Sementara biaya kliring Rp 7.500-Rp 15.000 per transaksi. Bank berkilah, mereka kudu keluar ongkos overhead dan operasional yang tinggi dalam menyelenggarakan sistem tersebut.

Dalam kajian awal BI, biaya transfer dana kliring idealnya hanya Rp 2.500-Rp 3.000 per transaksi. Tapi, dengan mempertimbangkan biaya tambahan yang dikeluarkan perbankan, bank sentral akhirnya mematok tarif RTGS maksimal Rp 15.000 dan kliring paling besar Rp 5.000 per transaksi.

Info saja, RTGS dan kliring adalah sistem transfer dana pada beberapa rekening. Transfer uang dengan RTGS hanya untuk dana di atas Rp 100 juta. Adapun transfer dana di bawah Rp 100 juta menggunakan sistem kliring. Untuk transaksi lebih kecil, bank menyediakan layanan transfer lewat ATM.

Data BI menunjukkan, tren transfer dana via RTGS turun sementara kliring naik. Contoh, selama januari 2014, volume transfer melalui RTGS mencapai 1,41 juta transaksi dengan nominal Rp 8.463,87 triliun. Sedangkan pada Januari 2015, volumenya turun menjadi 950.000an transaksi saja namun nilainya meningkat menjadi Rp 9.868,70 triliun.

Efek yang besar ke bank kecil

Buat bank, aturan tarif atas tersebut tentu akan berdampak pada penurunan pendapatan mereka. Enggak tanggung-tanggung, pendapatan dari RTGS bisa anjlok 50% hingga 200%. Darmadi Sutanto, Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), mengatakan, bank-bank kecil yang bakal terkena dampak paling besar. “Bank kecil teknologinya, kan, terbatas dan transaksinya tidak besar, maka biaya yang dikenakan tinggi,” ungkapnya.

Segendang sepenarian, Rama P. Kusumaputera, Direktur Operasional Bank OCBC NISP, menyatakan, aturan tarif atas kliring dan RTGS memang berdampak pada pendapatan bank. Soalnya, saat ini rata-rata bank mengenakan tarif itu di atas ketentuan BI. OCBC NISP, misalnya, memungut tarif RTGS sebesar Rp 25.000 dan kliring Rp 5.000 per transaksi.

Tapi, batas atas tarif RTGS dan kliring punya sisi positif. Penurunan tarif bisa membuat volume transaksi RTGS dan kliring meningkat. Rama mengungkapkan, transaksi RTGS dan kliring di OCBC NISP cukup tinggi. Sayangya, dia tidak bersedia menyebutkan angkanya. Cuma, kontribusi RTGS dan kliring masih di bawah 1% dari total pendapatan nonbunga OCBC NISP per Juli lalu yang mencapai Rp 433 miliar.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri, bilang, memang sudah sepatutnya biaya RTGS dan kliring yang dibebankan ke nasabah tidak terlalu tinggi. Sebab, nasabah berhak mendapatkan biaya yang wajar dengan layanan yang baik. “Tarif yang dipatok BI sudah memberikan keuntungan pada kami, walaupun tipis,” ujarnya.

Saat ini Bank Mandiri memungut biaya kliring Rp 5.000 dan RTGS Rp 15.000 per transaksi. Artinya, sudah sesuai dengan batas atas. Saban hari nilai transaksi RTGS dan kliring melalui Bank Mandiri mencapai Rp 40 triliun-Rp 50 triliun.

Meski sekarang memasang biaya kliring yang tinggi berkisar Rp 3.500-Rp.10.000 per transaksi dan RTGS Rp 25.000-Rp 30.000, Wan Razly, Direktur Keuangan dan Strategi Bank CIMB Niaga, mengklaim, pembatasan tarif tidak akan berdampak besar bagi banknya. Sepanjang semester I-2015, total pendapatan remitansi termasuk fee RTGS dan kliring CIMB Niaga hanya Rp 71 miliar. Sedang pendapatan nonbunga Rp 1,18 triliun. “Kontribusinya relatif kecil,” ujarnya.

Untuk menutupi penurunan pendapatan dari kliring dan RTGS, CIMB Niaga akan menggarap sumber pendapatan non bunga. Ambil contoh, dengan memperkuat platform digital untuk mempermudah transaksi. Lalu, berkongsi dengan institusi keuangan dalam memperluas jaringan layanan remittance, khususnya menggarap pasar tenaga kerja Indonesia (TKI). CIMB Niaga juga memanfaatkan jaringan CIMB group untuk menggarap potensi bisnis di wilayah Asia Tenggara.

Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan Bank Rakyat Indonesia (BRI), menambahkan, transaksi RTGS dan kliring di banknya saat ini tidak terlalu besar. Soalnya, ekonomi domestik yang lesu berpengaruh pada bisnis pelaku usaha. Pengguna terbesar layanan RTGS dan kliring adalah para pengusaha.

Alhasil, bagi BRI, pembatasan tarif enggak bakal berdampak besar pada pendapatan mereka. Apalagi, BRI tidak menjadikan RTGS dan kliring sebagai sumber pendapatan utama. Plus, bank yang identik sama wong cilik ini hanya mengutip biaya RTGS Rp 15.000 serta kliring Rp 5.000 per transaksi.

Dalam transaksi ritel, BRI lebih memilih membidik fee dari transaksi melalui electronic banking. Di semester I-2015, pendapatan dari e-banking mencapai Rp 778,1 miliar atau meningkat 80,4% ketimbang periode yang sama di 2014.

Kalau tidak ada yang keberatan dengan aturan anyar itu, beban nasabah bakal benar-benar berkurang mulai 2016.

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar