JAKARTA. Pemerintah dan Bank Indonesia mulai menyiapkan resep untuk memulihkan pasar keuangan dalam negeri. Mulai dari pembelian kembali (buyback) surat utang negara dan saham Badan Usaha Milik Negara (BUMN), hingga membuka lagi kerjasama pertukaran mata uang atau bilateral swap arrangement (BSA) dengan sejumlah negara.
Untuk sesaat, pasar keuangan reda, utamanya di pasar saham. Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 1,56% menjadi 4.228,5. Rencana buyback saham BUMN senilai Rp 10 triliun bak angin segar bagi pasar.
Namun bukan berarti ancaman sudah berlalu dari pasar keuangan. Minimal ada dua indikator yang harus membuat kita waspada. Pertama, asing masih terus keluar dari pasar saham. Kemarin nilai dana asing yang keluar (net sell) dari bursa mencapai sekitar Rp 697,2 miliar dan sepekan terakhir senilai sekitar Rp 5,21 triliun.
Itu sebabnya, petinggi BUMN harus lebih hati-hati menjalankan buyback saham. Salah-salah, guyuran dana pembelian kembali saham itu hanya dimanfaatkan para pemodal untuk keluar dari pasar, alih-alih membuat pasar saham pulih.
Indikator kedua dan paling krusial, nilai tukar rupiah kembali melemah ke posisi Rp 14.067 per dollar Amerika Serikat (AS). Tekanan terhadap mata uang garuda masih besar. Banyak kalangan yang mulai meragukan bahwa rupiah bisa bangkit.
Ketiga, pasar obligasi juga belum pulih. Kemarin, menurut versi Infovesta Goverment Bond Index (IGBI) 0,32% menjadi 5.948,57. Sementara versi Indonesia Bond Indexes naik tipis 0,03% menjadi 173,4. Padahal hingga kemarin, pemerintah telah menghabiskan dana buyback obligasi negara sebesar Rp 1,4 triliun. Kini, anggaran buyback obligasi tersisa Rp 1,6 triliun.
Alhasil, pasar keuangan agaknya membutuhkan resep ekstra demi mengusir kecemasan dan menahan kejatuhan pasar keuangan lebih dalam. Nah, pilihan mengaktifkan BSA dan Bond Stabilization Framework (BSF) sebenarnya merupakan salah satu pilihan bagus, utamanya untuk mengangkat rupiah. Sebab, kerjasama BSA antar bank sentral atau dikenal Chiangmai Initiative, aktivitas perdagangan dengan Indonesia menggunakan mata uang kedua negara, tak memakai dollar AS.
Saat ini, BI telah mendapat komitmen BSA dengan China senilai US$ 15 miliar, dari Jepang senilai US$ 22 miliar dan Korea Selatan US$ 10 miliar. Persoalannya, program ini tidak bisa berjalan dengan cepat dan masih butuh negosiasi lagi. Itu sebabnya, “Kami sedang berkomunikasi dengan sejumlah bank sentral,” kata Agus Martowardojo, Gubernur BI, kemarin.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengklaim, BSF ini memudahkan pemerintah membeli obligasi negara di pasar sekunder yang ditinggalkan investor asing. “Kami sudah siap kalau diperlukan,” katanya.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar