RI-Malaysia Bangun Industri Sawit

indexKUALA LUMPUR. Bukan rahasia lagi jika Indonesia dan Malaysia adalah dua negara penghasil minyak sawit atau crude palm oil (CPO) terbesar di dunia.

Di tengah harga CPO yang merosot, kedua negara sepakat membangun kawasan industri khusus hilirisasi produk kelapa sawit. Targetnya, proses groundbreaking kawasan industri tersebut dapat mulai Januari 2016 dan dibangun dalam waktu tiga tahun.

Rizal Ramli, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Republik Indonesia (RI) menyatakan, kerjasama ini merupakan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Adapun, pembahasannya dengan Pemerintah Malaysia tengah dilakukan sejak tiga bulan terakhir. “Saya dititipkan pesan agar Indonesia dan Malaysia betul-betul bekerjasama meningkatkan hubungan, terutama industri hulu dan hilir kelapa sawit. Kami ingin agar 85% pasokan CPO kedua negara masuk ke sektor hilir,” ucapnya, Kamis (27/8).

Menurut Rizal, produsen kelapa sawit tengah menghadapi beberapa masalah seperti tingginya pemberlakuan standar lingkungan untuk bisa menembus pasar negara maju. Untuk itu, dia berharap dengan terjalinnya kerjasama ini, kedua negara mampu menentukan sendiri standar produk CPO.

Kerjasama bidang CPO antara pemerintah RI-Malaysia ini semakin menegaskan komitmen kedua negara pada bidang CPO. Sebelumnya, dua korporasi dari kedua negara, yakni Felda Global Ventures (FGV) Holding Berhad asal Malaysia dan PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT) asal Indonesia sudah menjalin kerja sama untuk mengembangkan industri hilir CPO.

Rencananya, pemerintah akan mengajak perusahaan besar Indonesia lainnya yang telah memiliki bisnis hilir kelapa sawit untuk bergabung. Rizal menjanjikan, pemerintah akan mempermudah perusahaan swasta yang ingin menggarap bisnis hilir CPO dengan memberikan berbagai insentif.

Sekedar informasi, FGV membeli 37% saham BWPT dengan harga US$ 680 juta. Sebesar 30% atau senilai US$ 632 juta dibayarkan secara tunai. Lalu 7% atau setara US$ 48 juta ditukarkan dengan 2,5% saham FGV.

 

sawit2Tunda Pungutan CPO

Kerjasama RI-Malaysia ini diharapkan mampu kembali mengerek harga CPO yang jeblok belakangan ini. Kejatuhan harga CPO ini membuat industri sawit di tanah air mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah tegas.

Salah satunya adalah menghentikan pungutan CPO Fund yang telah dimulai sejak bulan Juli lalu karena harga CPO telah berada pada level di bawah US$ 500 per metrik ton.

Togar Sitanggang, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengaku telah menampung sejumlah usulan dari pengusaha sawit. Pertama, menunda CPO Fund sampai harganya stabil. Kedua, mengubah kebijakan dengan menentukan batas bawah harga CPO yang kena pungutan CPO Fund.

Namun, Togar belum mengetahui kalkulasi pengusaha soal besaran batas bawah harga CPO ini. “Harus ada kajian lebih dulu soal ini,” tuturnya. Yang jelas, Togar berharap batas bawah harga CPO yang kena CPO Fund bisa membantu melindungi petani yang memasok tandan buah segar (TBS) ke industri sawit.

Menurut pantauan Gapki, harga TBS di tingkat petani saat ini sudah anjlok sampai menyentuh Rp 600 per kilogram (kg). Gapki sendiri meramalkan pelemahan harga CPO akan terus berlanjut selama Agustus 2015, dengan kisaran harga US$ 500 per metrik ton hingga US$ 600 per metrik ton.

Namun, melihat tren harga yang berada di bawah US$ 750 per metrik ton, Gapki meyakini pengusaha tidak perlu membayar bea keluar ekspor selama bulan Agustus 2015. Pengusaha hanya harus menyisihkan dana untuk CPO Fund.

Lesunya permintaan ekspor berbagai negara, terutama China dan India, akibat pelemahan ekonomi menjadi penyebab utama merosotnya harga CPO secara global.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar