Jakarta. Sejumlah ekonom dan pengusaha menilai nilai tukar rupiah yang terus melemah sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan, Indonesia disebut menuju jurang krisis ekonomi yang diawali dengan pelemahan nilai tukar. Maklum sejak awal tahun, rupiah terpuruk sekitar 14% hingga ke level Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat (AS).
Sejak 25 Agustus, kurs tengah bank Indonesia, rupiah bertengger di level Rp 14.000. kemarin (1/9), rupiah masih ditutup melemah di level Rp 14.081 per dollar as.
Dalam pertemuan dengan sejumlah media ekonomi, Senin siang (31/8), presiden menegaskan pelemahan nilai tukar rupiah saat ini tidak bisa dibilang Indonesia dalam kondisi krisis. Bahkan presiden tegas membantah situasi saat ini seperti krisis tahun 1998.
Presiden menjabarkan sejumlah indikator makro yang tak disebutkan dari mana data itu. “Saya dapat data ini, tidak perlu saya sebutkan datanya dari mana,” kata presiden sambil tersenyum.
Pertama, nilai tukar rupiah saat ini hanya melemah 14%, jauh lebih rendah dari krisis 1998 yang mencapai 197%. Suku bunga acuan atawa BI rate, pada 1998 sebesar 60%, tapi sekarang 7,5%. “Saya ingat betul, waktu 1998, saya sedang di Koln, Jerman. Saat itu terasa betul pelemahan rupiah, dari Rp 1.800 menjad Rp 16.000,” terang presiden.
Dalam paparan presiden, tak sempat dijelaskan presiden di dalam pertemuan, ialah seputar rasio utang. Total utang luar negeri atau ULN pemerintah dan swasta tahun 1997 US$ 150,8 miliar atau 8,6 kali cadangan devisa saat itu sebesar US$ 17,40 miliar, sedangkan saat ini total ULN US$ 304,3 miliar. Nilai ini 2,8 kali nilai cadangan devisa saat ini yang sebesar US$ 107,6 miliar.
Makanya, presiden mengaku bisa tenang agar masyarakat tidak ikut panik. Kampanye memakai rupiah pun dianggap bisa membuat masyarakat panik.
Cacatan KONTAN, perbandingan data di atas masih bisa memburuk. Data makro ekonomi yang dipaparkan terjadi pada 1998 mewakili situasi terendah (bottom) krisis. Sedang saat ini, para ekonom dan pengusaha yakin, situasi belum anti klimaks. Sebab itu, data makro saat ini lebih tepat disandingkan dengan era sebelum krisis 1998. Sebab pelemahan rupiah saat ini dipercaya masih akan terjadi jika bank sentral AS menaikkan suku bunga. Sebab itu, langkah otoritas saat ini ialah menetapkan batasan indikator makro yang dinilai telah memasuki situasi krisis sehingga memerlukan langkah darurat.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar