JAKARTA. Tahun ini adalah masa penuh tantangan bagi industri perhotelan di Indonesia. Perlambatan ekonomi, tekanan nilai tukar ditambah sempat ada larangan pejabat pemerintah menggelar rapat di hotel turut menekan bisnis hotel.
Kendati berhadapan dengan tantangan besar, kinerja emiten perhotelan di semester pertama tahun ini masih beragam. Tiga dari enam emiten perhotelan menorehkan kinerja positif. Kinerja separuh emiten lain terseok.
Kinerja paling bagus diraih PT Jakarta International Hotels & Development Tbk (JIHD). Pengelola Hotel Borobudur ini keluar dari jebakan kerugian, setelah mencetak laba bersih Rp 20,55 miliar di semester I 2015. Di periode sama tahun lalu, emiten ini menderita kerugian bersih senilai Rp 25,13 miliar. Pendapatan JIHD di semester I 2015 tumbuh 3,2% year-on-year (yoy) menjadi Rp 665,02 miliar. Selama enam bulan pertama 2015, JIHD meraih laba kurs Rp 11,9 miliar. Setahun lalu, emiten ini rugi kurs Rp 57,7 miliar.
PT Saraswati Griya Lestari Tbk (HOTL) juga bangkit. Pada semester I 2015, emiten ini meraih laba bersih Rp 9,11 miliar. Setahun lalu, HOTL merugi sekitar Rp 9,66 miliar. Pencapaian laba seiring tumbuhnya pendapatan usaha perseroan sebesar 27% (yoy) menjadi Rp 65,7 miliar.
Kemudian PT Indonesia Paradise Property Tbk (INPP) meraih pertumbuhan laba bersih sebesar 5% (yoy) menjadi Rp 8,14 miliar. Hal itu seiring meningkatnya pendapatan INPP sebesar 2,79% (yoy) menjadi Rp 251,14 miliar.
Sedangkan emiten yang melambat antara lain PT Jakarta Setiabudi International Tbk (JSPT), PT Hotel Sahid Jaya Tbk (SHID) dan PT Mandarine Regency Tbk (HOME). Laba bersih dan pendapatan JSPT melorot, masing-masing 11,23% dan 2%. Adapun SHID menderita kerugian Rp 5,65 miliar. Padahal di semester I 2014, masih mencatat laba bersih Rp 11,35 miliar.
Sedangkan HOME mencatatkan rugi bersih Rp 6,27 miliar di semester I 2015. Angka itu melonjak 131% (yoy) menjadi Rp 6,27 miliar. Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, menilai, tantangan industri perhotelan cukup berat. Larangan pejabat pemerintah menggelar rapat di hotel sempat menekan pendapatan.
“Selama ini pendapatan utama mereka dari sewa untuk rapat,” jelas dia. Perlambatan ekonomi dan pelemahan nilai tukar turut memukul bisnis perhotelan. Hans bilang, melambatnya ekonomi menyebabkan daya beli masayarakat menurun sehingga tingkat okupansi hotel ikut menipis.
Pertumbuhan bisnis beberapa emiten lantaran pandai mengelola keuangan serta memiliki hotel di daerah yang masih mencatatkan tingkat okupansi tinggi. Bali dan Bandung adalah dua kota dengan tingkat okupansi hotel cukup tinggi. Tapi saat ini Hans tak merekomendasikan emiten perhotelan.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar