JAKARTA. Menyusul sulitnya petani rakyat menjual tandan buah segar sawit, pemerintah akan memanggil lima perusahaan sawit besar. Mereka adalah perusahaan yang menandatangani The Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Yakni : Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Musim Mas, Golden Agri, dan Asian Agri.
Efek penandatangan perjanjian itu, para petani sawit terancam tak bisa menjual tandan buah segar (TBS) ke mereka. Celakanya, kelima perusahaan sawit tersebut selama ini menyerap 90% dari total produksi sawit di Indonesia.
San Afri Awang, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bilang, komitmen lima perusahaan sawit nasional dalam IPOP tindakan yang tidak masuk akal.
Apalagi, dalam kesepakatan disebutkan, pembangunan sawit harus nol deforestasi dengan memasukkan hutan sekunder dan belukar tua sebagai lahan yang dilarang dieksploitasi. “Mana ada lahan lagi kalau belukar tua tidak boleh dibuka,” ujar Awang, akhir pekan lalu. Kendati luas lahan sawit di Indonesia sudah lebih dari 10 juta hektare (ha), pemerintah tetap khawatir komitmen IPOP yang menetapkan standar tinggi tersebut.
Menurut Awang, jika terjadi tukar menukar lahan Alokasi Penggunaan Lain (APL) dan Hutan Produksi Konversi (HPK), tidak bisa karena stok karbon masih di atas 35. “Jadi, ini sulit karena masih banyak pemodal mau bangun lahan di Papua,” imbuh dia.
Awang bilang, jika tak bisa memenuhi standar tinggi IPOP, sawit petani bisa ditolak. Karena itu, kesepakatan IPOP dinilainya melanggar UUD 45 dan sudah melampaui kewenangan pemerintah.
Ganggu ekonomi lokal
Sebab, aturan pemerintah membolehkan pembangunan di hutan sekunder dan semak belukar tua. Tapi, kesepakatan IPOP justru melarang.
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian menimpali, akibat IPOP sudah ada perusahaan di Medan dan Aceh yang tidak bisa menjual CPO ke grup usaha Wilmar. “Ini dampak selanjutnya ke petani sawit. Sebab, perusahaan tersebut juga banyak membeli sawit dari petani,” terang Musdhalifah.
Jika semua perusahaan menengah dan kecil tidak bisa menjual CPO ke lima perusahaan besar tadi, bisa membahayakan perekonomian nasional. “Petani sawit di Indonesia 4,5 juta orang. Bayangkan kalau masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sawit, tiba-tiba tidak laku dijual,” katanya.
Menurut Musdhalifah, pemerintah Indonesia telah memiliki standarisasi, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Jadi, pelaku sawit di tanah air cukup mengikuti ISPO yang sifatnya wajib ini.
Dari awal, katanya, tak pernah ada informasi jelas ke pemerintah soal kesepakatan pertama (ikrar empat perusahaan besar di New York). Makanya, Musdhalifah heran, kenapa tak melalui pemerintah, tapi hanya duta besar.
Menurut dia, para pebisnis seharusnya didampingi oleh Pemerintah Indonesia. Tapi ternyata hanya Kadin yang mendampingi. “Kami dari kantor Menko Perekonomian bilang, silakan kalau mau lakukan pledge dan B to B (sesama pebisnis) tak harus di depan presiden,” imbuh dia.
Karena itu, ia menyesalkan, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta hadir. “Itu perusahaan yang bekerja di negara kita. UU yang harus dipatuhi di negara kita bukan Amerika,” katanya.
Catatan saja, IPOP pertama kali dicetuskan pada September 2014 oleh Kamar Dagang dan Industri sebagai perjanjian antara para pemimpin produsen minyak sawit untuk mencapai kelestarian.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar