RMOL. Menjelang keputusan Bank Sentral AS, The Fed, mengenai suku bunga acuan mereka, rupiah semakin ambrol. Dalam perdagangan kemarin, rupiah sempat melampaui angka Rp 14.450 per dolar AS. Kondisi ini menjadikan rupiah sebagai mata uang yang paling loyo terhadap dolar ASdi kawasan Asia.
Saat ini, para petinggi The Fed tengah menggelar pertemuan untuk membahas suku bunga acuan mereka. Rapat berlangsung dua hari, dimulai kemarin dan akan ditutup sore ini waktu setempat. Setelah rapat beres, Gubernur The Fed Janet Yellen akan langsung mengumumkan hasilnya ke publik.
Menjelang putusan ini, banyak mata uang dunia mengalami pelemahan terhadap dolar AS, termasuk di negara-negara Asia. Namun, dari semua mata uang di Asia, rupiah yang paling loyo. Berdasarkan data Reuters, seharian kemarin rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,24 persen. Kondisi ini berbeda jauh dengan yuan China dan peso Filipina yang hanya melemah 0,01 persen. Rupiah juga lebih loyo dari bath Thailand yang melemah 0,14 persen.
Sebenarnya, saat pembukaan pasar slot kemarin, rupiah tidak loyo-loyo banget. Berdasarkan data Reuters, rupiah dibuka Rp 14.398 per dolar AS atau hanya melemah tipis dibanding angka dalam menutupan perdagangan sehari sebelumnya, yaitu Rp 14.393 per dolar AS.
Namun, hanya beberapa menit setelah pembukaan, rupiah sudah tembus Rp 14.400. Semakin siang, rupiah semakin loyo. Bahkan, rupiah sempat menembus Rp 14.458 per dolar. Melihat kondisi ini, Bank Indonesia sempat melakukan intervensi, tapi tidak berpengaruh banyak. Dalam penutupan sore kemarin, rupiah ada di level Rp 14.436 per dolar AS.
Angka ini merupakan level terlemah rupiah sejak krisis moneter 17 tahun silam. Pada 17 Juni 1998, rupiah mencatatkan rekor terlemah yaitu Rp 16.650 per dolar AS. Setelah itu, rupiah mengalami fluktuatif, tapi baru kali ini angkanya semakin mendekati krisis moneter dulu.
Jika pelemahan itu dihitung dari awal tahun, pelemahan rupiah tahun ini juga paling besar. Berdasarkan data Bank Indonesia, sejak Januari sampai 14 September 2015, rupiah mengalami pelemahan sebesar 15,87 persen. Angka ini melonjak tajam dari pelemahan pada periode yang sama di tahun 2014 yang hanya 1,8 persen.
Meski kondisinya kian mengkhawatirkan, pemerintah masih saja bersikap tenang. Wapres Jusuf Kalla menganggap pelemahan yang terjadi masih wajar, karena merupakan gejala dunia menjelang putusan The Fed.
“Hari ini Rp 14.000 (per dolar AS), bisa beberapa bulan kemudian turun sedikit atau naik, kan bisa. Itu memang sekali lagi gejala dunia, terjadi di mana-mana, selain juga cadangan kita sulit, tidak kita tingkatkan akibat ekspor yang sulit,” kata JK, sapaan Jusuf Kalla, usai memimpin rapat untuk meningkatkan produksi pangan di Kantor Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, kemarin.
Yang jelas, kata JK, pemerintah tidak tinggal diam. Salah satu cara pemerintah mendongkrak rupiah yakni mengurangi beban impor. “Karena itu saya datang ke sini untuk menaikkan produksi pangan agar beban impor pangan turun dan juga ketersediaan mencukupi,” ucapnya.
Plt Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan juga memandang pelemahan rupiah ini sebagai hal biasa. Ini bukanlah tanda-tanda krisis, melainkan fenomena global yang terjadi pada banyak mata uang dunia.
“Krisis kan masih jauh, ini cuma gejolak. Jadi masih jauhlah, sangat jauh,” ucapnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Bukti Indonesia jauh dari krisis, lanjutnya, bisa dilihat dari kondisi makro ekonomi dan inflasi. Pada kuartal II-2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia ada di angka 4,7 persen. Angka ini jauh lebih besar dibanding pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 3 persen. Dari sisi inflasi juga masih terkendali, yaitu mendekati 2 persen.
Melihat angka ini, dia yakin di semester II nanti, pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal lebih baik lagi. “Semester kedua ekonomi Indonesia akan meningkat karena daya serap APBN dan APBD juga akan meningkat,” tandasnya.
Analis PT Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheree meminta pemerintah membuat langkah-langkah antisipatif. Jika dibiarkan, bisa saja rupiah menembus angka Rp 15.000 per dolar AS. “(Mencapai) Rp 15.000 saya yakin sangat bisa. Karena kita sudah melemah sedikit-sedikit dan menuju ke sana,” tuturnya di Gedung BEI, Jakarta, kemarin.
Bahkan, bisa saja rupiah kembali menyentuh angka krisis moneter, Rp 16.650 per dolar AS. ***
Sumber: RMOL
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar