Minimnya daya beli membuat harga barang turun menjadi sumber deflasi di September 0,05%.
JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat negatif laju inflasi September 2015, alias deflasi sebesar 0,05%. Deflasi ditunjukkan dengan penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari bulan Agustus 2015 yang sebesar 121,73 menjadi 121,67.
Kepala BPS Suryamin mengatakan, secara tahunan (year on year), inflasi September tercatat sebesar level 6,83%, sementara inflasi inti 0,44%. “Inflasi inti tahunan pada September sebesar 5,07%,” ujarnya, Kamis (1/10).
Suryamin mengatakan, deflasi September terjadi karena pemerintah cukup berhasil mengendalikan harga bahan makanan setelah Ramadhan. Hal ini diperlihatkan dari kenaikan negatif (deflasi) pada kelompok bahan makanan sebesar 1,07%.
Deflasi terjadi dari turunnya harga sejumlah komoditas, antara lain daging ayam ras, cabai merah, tarif angkutan udara, bawang merah, cabau rawit, minyak goreng, bensin, jengkol, kangkung, dan telur ayam.
Komoditas yang mengalami kenaikan harga, antara lain beras, uang kuliah, emas perhiasan, wortel, bawang putih, mie, nasi dengan lauk, rokok kretek dan kretek filter, tarif kontrak rumah, upah pembantu rumah tangga, dan mobil.
Daya beli tergerus
Namun pemerintah nampaknya kurang begitu senang dengan deflasi September 2015 ini. Menurut Menteri Koordinator Ekonomi Darmin Nasution, deflasi yang terjadi di September 2015 memiliki makna ganda, positif dan negatif.
Darmin bilang, di sisi posifit, deflasi bisa menunjukkan bahwa rata-rata harga secara umum pada September mengalami penurunan sehingga beban masyarakat berkurang. Itu berarti positif jika dilihat sebagai prestasi pemerintah dalam mengendalikan harga-harga.
Namun bisa jadi deflasi yang terjadi saat ini, karena efek perlambatan ekonomi. “Permintaan barang sedang melemah karena ada perlambatan ekonomi,” ujar Darmin.
Dengan perlambatan ekonomi dan banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), akibatnya daya beli masyarakat melemah atau turun, sehingga permintaan atas barang dan jasa turun.
Turunnya daya beli masyarakat ini sudha tercermin dari survei penjualan eceran yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) awal September lalu (10/9) untuk periode Juli dan Agustus 2015. Survei itu menunjukkan, Indeks Penjualan Riil (IPR) bulanan pada Agustus 2015 bakal minus 6,1% (mtm) dibanding Juli 2015 yang tumbuh tipis 4,9% menjadi 197,4. Optimisme para peritel atawa retailer terhadap penjualan eceran pada September hingga November masih turun. Ini tercermin pada Indeks Ekspektasi Penjualan 3 bulan mendatang yang turun dari 125,3 menjadi 121,5.
IPR mencerminkan perkembangan penjualan eceran Indonesia. Jika hasil IPR tumbuh melambat, bahkan minus, mencerminkan konsumsi masyarakat menurun. Penyebabnya antara lain karena penurunan daya beli.
Dalam survei itu juga disebutkan, perlambatan penjualan eceran pada Agustus 2015 terjadi pada sejumlah kelompok, baik kelompok makanan maupun non makanan. Dibandingkan Juli 2015, penjualan suku cadang dan aksesoris akan minus 0,4%, termasuk juga produk makanan, minuman dan tembakau yang tumbuh negatif 7%, juga peralatan informasi dan komunikasi minus 1,4%.
Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Srihartati mengatakan, deflasi kali ini perlu diwaspadai. Sebab, deflasi yang terjadi bukan karena perbaikan suplai, namun menurunnya permintaan. Hal itu menyebabkan harga turun. “Kecil kemungkinan deflasi disebabkan kenaikan pasokan,” katanya. Apalagi September sudah masuk musim kering, sehingga produksi pangan berkurang.
Bukti lain adalah turunnya harga daging ayam. Dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, seharusnya harga pakan ternak mengalami kenaikan sehingga harga ternak naik. Namun pada September, harga daging ayam ras turun. Menurut Enny, kondisi saat ini diperparah oleh maraknya PHK di sejumlah sektor industri.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar