Menelaah Aturan Rasio Utang dan Modal

 

B. Bawono Kristiaji

23

Pemerintah akhirnya merilis peraturan baru yang dipercaya akan mengisi kekosongan hukum tentang pinjaman yang dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak pada September lalu. Setelah ditangguhkan selama lebih dari 30 tahun, KMK No. 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan “dihidupkan kembali” melalui PMK No 169/PMK.010/2015.

Aturan PMK-169 dipicu oleh adanya perbedaan perlakuan pajak antara return dari pembiayaan melalui utang dan modal. Biaya bunga yang harus ditanggung perusahaan akan menjadi pengurang dari penghasilan kena pajak, sedangkan pembayaran dividen tidak. Perbedaan ini salah satu penyebab yang dapat mendistorsi keputusan pembiayaan perusahaan (debt bias) yang mendorong perusahaan untuk melakukan pembiayaan lebih banyak melalui utang atau dengan skema thin capitalization.

Dalam skema perencanaan pajak, terdapat korelasi positif yang terjadi antara perbedaan tarif PPh badan dengan struktur permodalan perusahaan. Pada kajian yang dilakukan di 38 negara Eropa selama 1998-2007, ditemukan bahwa dominasi utang perusahaan dalam struktur permodalan cenderung meningkat seiring tingginya tarif PPh Badan. Celakanya, tarif PPh Badan Indonesia termasuk cukup tinggi, sehingga diduga menjadi “incaran” perusahaan untuk menaruh utang dalam jumlah besar.

Bagi pemerintah, jumlah utang perusahaan yang semakin besar berpotensi untuk menggerus basis penerimaan pajak dan menciptakan risiko gagal bayar maupun berpengaruh terhadap kestabilan nilai tukar mata uang.

Kini, banyak Negara telah menerapkan ketentuan untuk menangkal tingginya utang yang berlebihan (interest limitation rules) dengan mengacu pada suatu ambang batas utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER).

Mencermati berbagai dampak negatif dari penggunaan utang yang berlebihan, peranan ketentuan interest limitation rules pada PMK-169 jelas sangat diperlukan. Namun demikian, desain PMK-169 masih memiliki beberapa hal yang harus ditelaah kembali.

Di berbagai Negara, interest limitation rules telah dipercaya mampu mencegah praktik penghindaran pajak. Namun dalam konteks Indonesia, ketentuan yang akan berlaku secara efektif pada 2016 ini juga dituntut tetap memberikan kelonggaran bagi perusahaan mencari pendanaan.

Dalam ketentuan ini, nilai utang perusahaan yang dapat dijadikan faktor pengurang pajak penghasilan (PPh) maksimal sebesar empat kali lipat dari jumlah modal yang dimiliki perusahaan. Tetapi, apakah rasio 4:1 dalam PMK-169 ini sudah tepat? Jawabannya relatif.

Beda struktur permodalan

Penggunaan rasio antara utang dan modal seperti yang diatur dalam PMK ini memang diakui lebih mudah secara administrasi jika dibandingkan upaya memperbandingkan kewajaran struktur permodalan Wajib Pajak dengan perusahaan lain di industri yang sama (arm’s length).

Pendekatan dengan rasio 4:1 ini sejatinya menutup mata atas fakta perbedaan antara struktur permodalan usaha di masing-masing industri dan value chain. Walau rasio 4:1 merupakan rasio yang moderat, namun sifatnya yang rigid justru dapat mempengaruhi ekspansi bisnis di masa krisis.

Oleh karena itu, ada baiknya jika ketentuan rasio 4:1 juga dikombinasikan dengan klausul pengujian secara arm’s length. Di Tiongkok misalkan, jika rasio utang terhadap modal yang telah ditetapkan terlanggar, biaya bunga masih dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak selama struktur permodalan tersebut sebanding dengan perusahaan lain dalam industri sejenis.

Persoalan berikutnya terkait adanya kewajiban administrasi dalam bentuk pelaporan besaran utang luar negeri. Jika tidak dilaporkan, biaya pinjaman yang terutang dari utang luar negeri tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak. Nah, dalam merancang teknis pelaporan, pemerintah harus mempertimbangkan cost of compliance. Pengungkapan transaksi via lampiran saja cukup memadai.

Selain itu, dalam PMK 169 masih ada kelemahan, seperti rasio yang berbasis neraca pendapatan, kaitan antara aturan ini dengan transfer pricing, penjelasan detail mengenai wajib pajak yang dikecualikan, kriteria biaya pinjaman, dan sebagainya. Ada baiknya pemerintah mengkaji kembali aturan itu agar benar-benar efektif dan berfungsi maksimal.

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar