Belum Juga Pulih, Ancaman Baru Menanti

Industry berbasis karet merupakan salah satu industry yang riskan kalah bersaing dengan produk sejenis dari anggota ASEAN lainnya. Pasalnya, industi karet nasional masih bermasalah dari hulu hingga hilir.

 

 

Jika melongok peta jalan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, sub sektor prioritas integritas komunitas. Harapannya, karet menjadi salah satu komoditas dan produk unggulan di kawasan tersebut.

MEA akan membentuk kawasan Asia Tenggara sebagai basis produksi yang terintegrasi untuk karet. Kalau melihat struktur pasar karet dunia, wajar ASEAN menjadikan karet sebagai prioritas integrasi dan produk unggulan di wilayah ini. Dari daftar 10 negara produsen karet terbesar di dunia, lima di antaranya berada di Asia Tenggara: Thailand, Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filiphina.

Jika diakumulasi, total produksi karet Malaysia, Indonesia, dan Thailand saja sudah setara 65,7% dari total produksi karet alam di dunia. Angka itu belum memasukkan produksi karet dari Vietnam, Filiphina, Myanmar, Laos dan Kamboja, yang sedang menggeliat sebagai produsen karet.

Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan industry berbasis karet Indonesia menghadapi persaingan di era MEA?

Tak bisa dipungkiri, karet dinilai sebagai salah satu sektor paling rawan untuk kalah dalam persaingan pasar bebas MEA yang resmi berlaku mulai 1 Januari 2016. Alasannya, pertama , bukan hanya tenaga kerja sektor ini yang berdaya saing lemah, produk karet pun masih belum bisa bersaing di level regional. Penyebabnya, tingkat produktivitas yang masih rendah.

Staf Ahli Dewan Karet Indonesia Suharto Honggokusumo menilai, produktivitas karet lokal yang rendah bukan disebabkan oleh dominasi perkebunan karet rakyat. “Tapi penguasaan kebun karet oleh petani di Indonesia yang paling rendah dibanding negara lain,”katanya.

India misalnya, proporsi kepemilikan kebun karet oleh petani mencapai 90,3%. Di Thailand, persentase perkebunan rakyat mencapai 95%, lalu di Malaysia porsi perkebunan karet rakyat mencapai 93,7%. “Sementara porsi kebun karet rakyat di Indonesia sendiri hanya 84,9%,” ungkap Suharto.

Kedua, industry berbasis karet di negeri ini belum begitu berkembang. Selama ini, Indonesia hanya menjadi eksportir bahan mentah karet. Pemanfaatan karet alam di dalam negeri baru hanya sekitar 18% dari total produksi, antara lain untuk industry ban, sarung tangan, ban vulkanisir, dan sebagainya. Sebagian besar diekspor dalam bentuk mentah, yaitu crumb rubber (karet remah), ribbed smoked sheets (RSS), dan lateks pekat.

Tak pelak, ancaman sudah menanti di depan mata. Negara-negara ASEAN lainnya siap mendirikan industry pengolahan karet di Indonesia plus memboyong tenaga kerja professional di sektor ini. Lagi pula, arus investasi asing akan semakin deras sebagai konsekuensi dari penerapan empat pilar MEA, yakni liberalisasi, fasilitas perdagangan dan investasi, harmonisasi regulasi, dan reformasi ekonomi. Alhasil, pelaku usaha di industry karet dalam negeri siap tak siap harus menghadapi pasar bebas ASEAN. “Antara optimistis dan khawatir,” aku Aziz Pane, Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI).

Meski Indonesia merupakan produsen karet terbesar nomor dua di seantero jagat setelah Thailand, industry karet alam kita bukannya tanpa masalah. Di sisi hulu, persoalan rendahnya produktivitas menjadi hambatan. Saat ini, Indonesia merupakan negara pemilik areal kebun karet terluas di dunia, seluas 3,6 juta hectare (ha). Namun, produksi karet kita hanya 2,92 juta ton per tahun atau sekitar 1.080 kilogram (kg) per ha.

Bandingkan dengan Thailand. Meskipun luas lahannya hanya 2,76 juta ha, Thailand mampu menghasilkan karet 3,39 juta ton per tahun atau 1.800 kg per ha. Vietnam, yang memiliki kebun karet seluas 834.000 ha, sanggup memproduksi 812.000 ton per tahun atau 1.720 kg per ha. Begitu juga Malaysia. Luas lahan kebun karet negeri jiran ini hanya 1.02 juta ha, namun produksinya 996.000 ton setahun atau 1.510 kg per ha.

Persoalan di hilir lain lagi. Industri dalam negeri bergantung pada produk turunan karet impor sebagai salah satu bahan baku. Dari produksi karet alam sekitar 3 juta ton, hanya 450.000 ton yang terserap di sini. Sedang industry hilir harus mengimpor produk olahan karet dari negara lain.

Makanya, indutri pengolahan karet di negeri ini masih minim. Dus, industry ban masih menjadi sektor hilir karet yang paling tinggi menyerap produk karet mentah. Hampir 50% produk karet yang disedot industry hilir dalam negeri masuk ke produsen ban. Baru disusul industry sarung tangan karet, benang karet, alas kaki, vulkanisir ban, sarung tangan medis, karpet dan alat lain.

Babak belur

Secara umum, kondisi industry manufaktur berbasis material karet di Indonesia masih belum menunjukkan tren yang menggembirakan. Belum pulih benar dari serbuan produk China ketika diberlakukannya zona dagang bebas China-ASEAN. Kini ancaman baru dari luar akan segera datang seiring diberlakukannya MEA.

Seperti pada industry sarung tangan karet yang bisa babak belur ketika bersaing dengan produk sejenis dari negeri jiran. Merujuk data Asosiasi Industri Sarung Tangan Karet Indonesia (Asta), industry ini sudah tertekan sejak 2006 silam.

Pemicunya adalah harga gas yang tinggi diperparah pasokan karet berkualitas yang terbatas, sehingga terpaksa impor. Buntutnya, puluhan pabrik sarung tangan karet gulung tikar. Asta mencatat, tinggal enam perusahaan sarung tangan karet di Sumatera Utara yang masih bertahan.

Perusahaan ini mampu bertahan karena berada di sentra produksi karet berkualitas baik. Sedangkan pabrik sarung tangan karet di Jawa Timur dan Jawa Tengah sudah lama tutup.

Ketua Umum Asta Achmad Safiun mengungkapkan, kondisi industry sarung tangan karet semakin tertekan dengan diterapkannya pasar bebas kawasan dalam rangka MEA. Hanya sebagian yang siap menghadapi MEA. Persoalan utama produk sarung tangan karet Indonesia sulit bersaing dengan kompetitor adalah tingginya ongkos produksi akibat mahalnya harga gas alam selain bahan baku karet impor. Imbasnya, produksi sarung tangan karet tahun ini anjlok sebesar 10%-15% dari pencapaian tahun lalu. “Produksi diperkirakan turun menjadi 8 miliar-9 miliar pieces dari realisasi produksi tahun lalu, 10 miliar pieces,” ungkapnya.

Industri sarung tangan karet di Sumatera membeli gas alam seharga US$14 per juta British thermal unit (mmBtu). Sementara, industry sarung tangan karet di Malaysia yang menjadi kompetitor hanya membeli gas US$ 4,5 per mmBtu. Selain tingginya harga gas alam, industry sarung tangan karet mendapat tekanan dari kenaikan tarif dasar listrik.

Meski industry sarung tangan karet terseok-seok akibat sulit bersaing, Indonesia bisa memperluas basis pasar produk ban ke negara-negara di ASEAN. Pasalnya, penggunaan karet alam di Indonesia sebesar 55% dimanfaatkan oleh industry tersebut.

Sejatinya industry ban memegang peranan penting dalam menggerakkan perekonomian nasional, baik itu kontribusinya terhadap pendapatan domestic bruto (PDB), mendorong ekspor, menyerap tenaga kerja, serta mendukung pertumbuhan sektor industry lainnya sebagai pengguna bahan baku pada industry kimia maupun komplementer pada industry otomotif.

Sebab itu, ketika menghadapi MEA, industry ban diharapkan terus meningkatkan penyerapan karet alam dan mampu berdaya saing baik dari segi kompetensi tenaga kerja, kuantitas, kualitas, maupun teknologi dan inovasi. Cuma, industry ban nasional juga tak luput dari masalah. Kinerja penjualan ban di dalam negeri anjlok karena daya beli masyarakat turun seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi. Setali tiga uang, kinerja ekspor ban mengkerut yang dipicu permintaan pasar dunia berkurang.

Namun demikian, ada peluang besar yang bisa ditangkap oleh industry dalam negeri sejalan bergulirnya pasar bebas MEA. “Jumlah pasar akan lebih besar dan meningkatnya peluang kerjasama dengan investor asing. Peluang ekspansi usaha ke negara anggota ASEAN lainnya juga semakin terbuka,” bebernya.

Tentunya pemerintah juga tidak berpangku tangan. Dalam upaya memanfaatkan peluang pasar MEA untuk mendapatkan manfaat dari sektor unggulan tersebut, pemerintah telah dan terus melakukan upaya peningkatan efisiensi dan pembenahan di bidang infrastruktur dan regulasi yang dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga terkait.

Ada peluang dan tantangan bagi industry manufaktur berbasis karet seiring dibukanya pasar besa MEA.

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Masyarakat Ekonomi ASEAN

Tag:, , , , ,

Tinggalkan komentar