
Kesejahteraan ekonomi hanya dinikmati segelintir orang.
Indonesia itu penuh dengan orang kaya. Kesimpulan itu setidaknya tersirat dari survey Emerging Trends in Real Estate Asia Pasific 2015. Dalam riset yang disusun Urban Land Institute (ULI) Amerika Serikat, dan Pricewaterhouse Coopers (PwC) itu, Jakarta menempati peringkat kedua tertinggi dalam daftar kota yang paling menarik untuk investor property.
Ibukota negeri kita ini bahkan mengalahkan kota-kota besar lainnya, seperti Singapura, Osaka (Jepang), Shanghai (China), Sydney dan Melbourne (Australia). Meski kalah dari Tokyo, yang duduk di nomor wahid, di masa depan, pasar property di Jakarta dipandang lebih menjanjikan karena pasarnya terus berkembang.
Jangan heran, tingkat prapenjualan apartemen untuk masyarakat kelas menengah atas dan atas mencapai 73,4% dari total pasokan. Menurut Cushman dan Wakefield Indonesia, rasio penjualan apartemen existing di kawasan Jabodetabek mencapai 97,9%.
Kalau melihat survey dan riset di atas, terlihat nyata sekali kemajuan yang dihasilkan oleh gerak laju ekonomi Indonesia. Meski sempat tersandung beberapa kali krisis, pertumbuhan Indonesia yang konsisten relatif tinggi selama 4 dekade terakhir berhasil menciptakan kesejahteraan dan baris kelas menengah baru.
Cuma, menurut Bank Dunia, kesejahteraan yang tercipta selama puluhan tahun terakhir belum merata. Dalam laporannya yang bertajuk Indonesia’s Rising Divide, Bank Dunia bahkan menilai, kesenjangan sosial ekonomi di negeri kita, terutama dalam satu dekade terakhir sejak krisis 1998, justru semakin menganga.
Menurut laporan setebal hampir 150 halaman tersebut, kesejahteraan yang hadir akibat pertumbuhan ekonomi di tanah air selama 40 tahun terakhir nyatanya hanya dinikmati oleh sebagian kecil rakyat Indonesia. Sebagian besar masyarakat kita masih hidup miskin atau rentan terhadap goncangan ekonomi.
Menurut Rodrigo Chaves, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, negeri kita sesungguhnya telah mengukir prestasi ekonomi yang cukup baik. Rerata pertumbuhan di dekade terakhir berhasil mencapai 6% per tahun. Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai US$ 888,5 miliar di 2014 dari semula US$ 163,8 miliar di 1999.
Dengan besaran ekonomi ini, Indonesia berhasil menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang masuk ke dalam G-20, kelompok negara-negara yang memiliki PDB tinggi. Indonesia juga berhasil memangkas tingkat kemiskinan hingga separuh, dari 24% di tahun 1999 menjadi sekitar 11,3% pada tahun 2014 lalu. Pertumbuhan juga berhasil menciptakan lapisan kelas menengah sebanyak 45 juta orang.
Masalahnya, pencarian menuju kesejahteraan bagi semua warga masih jauh dari garis akhir. Dengan kata lain, kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin menganga. Ukuran yang sering digunakan dalam kesenjangan adalah Koefisien Gini. Ini adalah rasio untuk mengukur ketimpangan ekonomi. Skalanya antara 0 sampai 1 atau 0 sampai 100.
Gini semakin tinggi
Menurut Roni Dwi Susanto, Deputi Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, makin besar rasio, makin tinggi ketimpangan. Selama 30 tahun, Koefisien Gini Indonesia sejatinya stagnan di rerata 0,3-an atau 30-an.
Koefisien Gini Indonesia sempat turun setelah terjadi krisis moneter Asia pada 1998. Ketika itu, jumlah penduduk yang penghasilannya melorot ke bawah garis kemiskinan meningkat. Cuma, mereka yang berpenghasilan tinggi juga terpukul krisis. Walhasil, kesenjangan pun menipis.
Begitu masuk tahun-tahun pemulihan ekonomi, kelompok yang miskin, walaupun terentaskan, tertinggal dibanding dengan percepatan pertumbuhan kelompok berpendapatan tinggi. Puncaknya terjadi pada 2011, ketika angka Gini melejit ke 41 dan bertahan terus di level tersebut sampai sekarang.
Angka tersebut merupakan Koefisien Gini tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Kenaikan Gini ini juga terhitung paling cepat dibandingkan dengan negara Asia lainnya. “Rasio gini tersebut sama seperti Uganda, Pantai Gading, dan lebih buruk dari India,” kata Chaves.
Kelompok atau persentile yang tumbuh pesat adalah mereka yang masuk golongan paling kaya. Pertumbuhan kelompok ini mencapai 10% per tahun, tertinggi dibanding semua kelompok pendapatan lainnya. Pertumbuhan kelompok berpendapatan tertinggi menimbulkan konsentrasi aset dan kekayaan yang semakin tinggi.
Saat ini, 10% penduduk Indonesia terkaya menguasai 77% pendapatan nasional. Kalau dipersempit, 1% penduduk Indonesia yang paling tajir menguasai lebih dari separuh total kekayaan nasional. Sementara 99% harus berebut sisa rejeki. Sungguh suatu jurang ketimpangan yang sangat curam.
Konsentrasi kekayaan yang timpang ini diperdalam problem struktural. Menurut Ekonom Senior Bank Dunia Vivi Alatas, ketimpangan peluang, akses kesempatan kerja yang tidak merata, dan ketahanan ekonomi yang rendah membuat kesenjangan ekonomi makin lebar. Apa boleh buat, dibutuhkan intervensi pemerintah untuk menjamin pemerataan.
Bukan cuma demi mengurangi potensi kecemburuan dan konflik sosial, tetapi juga memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkelanjutan.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar