JAKARTA – Neraca Perdagangan Indonesia kembali surplus. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), perdagangan ekspor Indonesia sepanjang Februari 2016 kemarin mencapai US$ 11,3 miliar, naik 7,8% ketimbang bulan sebelumnya yang sebesar US$ 10,48 miliar.
Jika dijumlahkan, itu artinya total ekspor Indonesia sepanjang dua bulan pertama tahun 2016 nilainya sudah mencapai US$ 21,78 miliar. Sementara impor, pada Februari lalu tercatat US$ 10,16 miliar, turun 2,9% ketimbang Januari yang US$ 10,48 miliar. Dengan demikian, total nilai impor Indonesia pada periode Januari dan Februari ini mencapai US$ 20,63 miliar.
Kepala BPS Suryamin, mengatakan, dengan pencapaian ekspor dan impor tersebut, neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2016 mengalami surplus sebesar US$ 1,14 miliar. “Dibandingkan Februari tahun sebelumnya, ini surplus tertinggi, mudah-mudahan dapat tetap berlanjut,” kata Suryamin, di kantornya, Selasa (15/3).
Namun jika dibandingkan periode yang sama tahun 2015 lalu, ekspor awal tahun 2016 ini justru mengalami penurunan 7,18%. Pada bulan Januari-Februari tahun lalu, nilai ekspor mencapai US$ 25,42 miliar, sedangkan Januari-Februari 2016 nilainya hanya US$ 21,78 miliar.
Suryamin bilang, penurunan tersebut karena penurunan harga komoditas. Penurunan itu juga menjadi penyebab utama belum meningkatnya perdagangan ekspor.
Penurunan harga komoditas terjadi di sektor minyak dan gas bumi (migas). Di sektor tersebut, terjadi penurunan paling dalam, yakni sebesar 40,16% dari US$ 3,71 miliar di Januari-Februari 2015, menjadi US$ 2,22 miliar di Januari-Februari 2016.
Efek harga komoditas
Meski begitu, kata Suryamin, sejatinya penurunan nilai ekspor itu terjadi di hamper semua komoditas. “Harga komoditas migas maupun non migas saat ini masih rendah dibandingkan harga jual di tahun lalu,” kata dia.
Sementara itu, realisasi ekspor non migas pada peride Januari-Februari 2016 turun 9,89% dengan nilai US$ 19,56 miliar. Rinciannya, nilai ekspor pertanian sebesar US$ 467,1 juta, ekspor industry pengolahan sebesar US$ 16,5 miliar, serta ekspor industri pertambangan dan lainnya senilai US$ 2,58 miliar.
Dari 23 komoditas non migas yang diamati BPS, hanya dua komoditas saja yang mengalami peningkatan nilai ekspor. Yaitu kopra, naik sebesar 2,39% dan kayu log yang naik sebesar 3,39%. “Jadi ini bisa menjadi kesempatan kita untuk mencukupi kebutuhan infrastruktur. Pemerintah sebaiknya manfaatkan kenaikan harga ini untuk meningkatkan ekspor,” katanya.
Catatan lain BPS, secara month on month (MoM), sudah ada 17 komoditas yang mengalami peningkatan ekspor. Antara lain, batubara, palm oil, serta palm kernel oil. “Peningkatan ekspor pada Februari sudah cukup menggambarkan adanya perbaikan perdagangan,” katanya.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, realisasi nilai perdagangan ekspor dan impor saat ini tidak bisa dilihat secara tahunan atau year on year (YoY) saja.
Namun juga harus dilihat secara keseluruhan alias kondisi saat ini. “Jangan lihat year on year dulu dong, situasinya memang semuanya. Padahal, kalau bulan ke bulannya ekspor mulai naik, tapi impornya belum,” kata Darmin.
Ia optimistis, ke depan, neraca perdagangan Indonesia akan lebih membaik dari tahun 2015 lalu. Pasalnya, nanti kebutuhan belanja di dalam negeri akan meningkat. “Beberapa jenis impor akan naik, seperti barang listrik, sebetulnya barang modal mulai naik, masih sebagian, karena belum semua industry merealisasikan rencana kegiatan usahanya,” terang Darmin.
Suryamin mengingatkan, Indonesia jangan terlalu terlena dengan surplus pada Februari ini. Mengingat, saat ini yang masih dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Ia berharap ke depannya, pemerintah menggenjot ekspor yang telah memiliki nilai tambah.
Mulai saat ini pemerintah harus lebih serius memberikan nilai tambah kepada produk-produk ekspor. Sehingga jika perlemahan kondisi eksternal berlangsung seterusnya, neraca perdagangan Indonesia dalam janga panjang akan baik.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar