Jangan Sekadar Jumlah Wajib Pajak yang Digeber

Jumali, sebut saja begitu, akhir-akhir ini mengeluh. Pegawai negeri sipil (PNS) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebuah daerah di Indonesia yang berumur 23 tahun ini tak enak hati dengna masyarakat alias wajib pajak (WP). Penyebabnya, system teknologi informasi (TI) alias computer kantornya tiba-tiba error.

Bukan Cuma tak enak hati dengan WP. Jumali juga kesal lantaran setiap lapor ke kantor pusat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemkeu), hamper tak ada tindak lanjut. Lambat sekali. “Memang tidak lebih dari sehari error-nya. Tapi, ini mengurangi kenyamanan. WP mau lapor online jadi enggak bisa. Laporan e-filing sering terjadi masalah. Sistemnya error,” curhatnya ke KONTAN, Kamis (17/3).

Di grup aplikasi Whatsapp yang terdiri para pegawai KPP di daerah lain seluruh Indonesia, muncul pula keluhan serupa: system online error. Padahal, akhir Maret ini merupakan batas akhir penyampaian SPT Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (OP).

DJP menargetkan, SPT melalui system elektronik alias e-filing tahun ini mampu menyentuh angka 7 juta WPOP. Tahun lalu, target pengisi ­e-filing 2 juta, baik WP OP maupun WP Badan. Realisasinya, pengisi e-filing mencapai 2,4 juta WP. Target tahun ini tercapai?

Menurut Mekar Satria Utama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Kemkeu, target 7 juta itu bisa terlampui. Sebab, sudah ada Surat Edaran No. 8/2015 yang intinya mewajibkan semua PNS, TNI, dan Polri melaporkan pajaknya dengan e-filing. “Angkanya bisa berkisar 4 juta-4,6 juta,” tutur Mekar ke KONTAN, di Bandara Soekarno Hatta, Senin (14/3).

Analisis yang kuat

Meski begitu, sungguh, system error merupakan peristiwa lucu mengingat tahun ini merupakan tahun penegakan hukum dan ekstensifikasi alias penambahan WP baru yang jadi bagian program lima tahun DJP. Tahun lalu adalah tahun pembinaan WP. Masalah teknis system TI seharusnya tak perlu ada lagi.

Selain system TI, kendala lain yang cukup lucu dan klasik adalah jumlah pegawai pajak. Dari total penduduk sekitar 249 juta, jumlah pegawai pajak sekitar 38.000-an saja, sudah termasuk 4.562 pemeriksa. Jumlah ini jauh jika dibandingkan dengan Jepang yang pegawainya sekitar 60.000 dengan jumlah penduduk 120-an juta.

Mekar bilang, sumber daya manusia (SDM) tergolong kendala terbesar program ekstensifikasi. Sebab, fleksibilitas menambahkan pegawai harus lewat kemkeu dan mendapat persetujuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. “Itu salah satu alasan kenapa DJP ingin fleksibiltas. Kalau ingin tambah pegawai, bisa merekrut mereka secepatnya. Kalau kita sudah tak butuh lagi, bisa cepat juga, dong, mecatnya,” tutur Mekar menyinggung rencana menambah pegawai hanya di bulan tertentu, misalnya Maret-April. Tentu saja, kualitas SDM yang jujur lagi berani itu penting , lo!

Selain TI dan SDM, soal pembahasan lima rancangan undang-undang (RUU) juga harus menjadi perhatian DJP. Kelima RUU itu antara lain Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Bea Materai, terutama RUU Tax Amnesty alias Pengampunan Pajak.

Intinya, RUU tax amnesty sejatinya akan menjadi “senjata ampuh” program ekstensifikasi atau penambahan WP baru. Tax amnesty jangan samapi molor atau mundur terlalu lama. Karena, banyak WP baru sedang menunggu kejelasan kebijakan baru tersebut.

Alasan lain, menurut Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, molornya pengesahan RUU Tax Amnesty bisa membikin empat RUU yang lain juga ikut mundur. Kalau tax amnesty molor, tertunda, atau mundur terlalu lama, kemungkinan paling apes, tahun penegakan hukum dan ekstensifikasi 2016 susah terwujud.

Prastowo mengingatkan, ekstensifikasi itu seharusnya dimaknai sebagai penambahan WP potensial. Jangan Cuma menambah WP, karena indicator keberhasilan ekstensifikasi tak hanya menambah jumlah WP. “Kalau sekadar menambah jumlah WP, itu kan bisa dilakukan secara otomatis kalau serius menggarap nomor identitas tunggal, yaitu menggabungkan KTP elektronik dengan NPWP,” tutur dia.

Maka ekstensifikasi harus diartikan menjangkau yang selama ini tidak terjangkau namun punya potensi. Bagaimana cara ekstensifikasi ini bisa efisien? Kata Prastowo, harus berdasarkan hasil analisis yang kuat.

Saat ini, hasil analisis bisa muncul dari dua sumber. Pertama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK. Data dari PPATK merupakan data matang dan jelas DJP bisa mengetahui transaksi keuangan. Kedua,analisis internal. Maksudnya, menganalisis sektor-sektor yang berpotensi munculnya WP baru.

Selama ini, PPTAK lebih difokuskan untuk analisis yang berhubungan dengan korupsi. Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, hasil analisis dari PPATK focus ke pajak. “Kalau fokus ke pajak, bisa lebih efektif dan dapatnya banyak. Kalau focus ke korupsi, dapatnya Cuma satu, waktunya habis untuk mengurus satu kasus dan dampak pencegahan tidak besar,” pungkas Prastowo.

Ingat, tahun ini belanja negara Rp 2.095,7 triliun. Pendapatan negara Rp 1.822,5 triliun. Pendapatan ini bersumber dari penerimaan pajak RP 1.360,1 triliun (74,6%), kepabeanan dan cukai RP 186,5 triliun (10,32%), Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp  273,8 triliun (15,0%), dan hibah kira-kira sebesar Rp 2 triliun (0,01%).

Penerimaan pajak 2016 Rp 1.360,1 triliun bersumber dari Pajak Penghasilan Rp 757,2 triliun (55,6%), Pajak Pertambahan Nilai sekitar Rp 571,7 triliun ( 42,03%), Pajak Bumi dan Bangunan Rp 19,4 triliun (1,4%) dan Pajak lainnya Rp 11,7 triliun (0,8%). Tahun lalu, realisasi penerimaan pajak Cuma 81,9% atau Rp 1.060,8 triliun dari target Rp 1.294,2 triliun.

Sumber: Tabloid Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , ,

Tinggalkan komentar