Kriteria Peserta MBR Perlu Dievaluasi

JAKARTA. Kalangan pekerja minta pemerintah meningkatkan batasan penghasilan kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan begitu, pekerja kelas menengah yang belum memiliki rumah bisa memanfaatkan fasilitas pembiayaan rumah dari Undang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mengatakan, sejak disahkan 23 Februari lalu, hingga kini pihaknya belum diikutsertakan dalam proses perumusan aturan turunan UU Tapera. “Serikat pekerja harus terlibat karena menyangkut pungutan upah buruh,” kata dia, Rabu (23/3).

Salah satu ketentuan yang akan diperjuangkan kalangan pekerja ialah pengaturan MBR yang akan menerima manfaat Tapera. Dia bilang aturan saat ini masih diskriminatif. Aturan yang berlaku saat ini ialah Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 48/2015 yang mengatur golongan MBR dengan gaji paling banyak Rp 4 juta untuk kepemilikan rumah tapak, serta penghasilan maksimal Rp 7 juta untuk rumah susun.

Faktanya saat ini masih banyak buruh yang berpenghasilan Rp 7 juta ke atas yang belum memiliki rumah. Timboel mengusulkan, batasan penghasilan MBR dinaikkan misalnya Rp 10 juta ke atas. “Imbal hasil bagi peserta harus diatur detail, misalnya di atas rata-rata suku bunga dana pemerintah,” katanya.

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bilang telah mengirim surat resmi ke pemerintah yang mengingatkan kewajiban ikutsertaan stakeholder dalam pembahasan aturan turunan UU Tapera. “Dalam rancangan PP, kami ingin iuran yang di tanggung pekerja dan pengusaha sama, sama-sama 1% atau 0,5% dan pemerintah juga mengalokasikan APBN,” ujar dia.

Maurin Sitorus, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian PU-Pera bilang, proses pembahasan penyusunan aturan turunan UU Tapera belum dimulai. Nantinya, akan diterbitkan tujuh peraturan pemerintah, peraturan Badan Pengelola (BP) Tapera, serta peraturan presiden dan keputusan presiden. “Sekarang, kami masih menunggu proses diundangkannya UU Tapera,” ujar dia.

Ia menjelaskan, UU Tapera memprioritaskan MBR. Sehingga aturan baru ini mendukung program pemerintah untuk menyediakan rumah masyarakat menengah ke bawah. “Kalau tak dibatasi, perbankan lebih mendahulukan pekerja berpenghasilan tinggi, ke depan mungkin kami akan kaji lagi nilainya,” ujar dia.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 

JAKARTA. Kalangan pekerja minta pemerintah meningkatkan batasan penghasilan kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan begitu, pekerja kelas menengah yang belum memiliki rumah bisa memanfaatkan fasilitas pembiayaan rumah dari Undang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mengatakan, sejak disahkan 23 Februari lalu, hingga kini pihaknya belum diikutsertakan dalam proses perumusan aturan turunan UU Tapera. “Serikat pekerja harus terlibat karena menyangkut pungutan upah buruh,” kata dia, Rabu (23/3).

Salah satu ketentuan yang akan diperjuangkan kalangan pekerja ialah pengaturan MBR yang akan menerima manfaat Tapera. Dia bilang aturan saat ini masih diskriminatif. Aturan yang berlaku saat ini ialah Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 48/2015 yang mengatur golongan MBR dengan gaji paling banyak Rp 4 juta untuk kepemilikan rumah tapak, serta penghasilan maksimal Rp 7 juta untuk rumah susun.

Faktanya saat ini masih banyak buruh yang berpenghasilan Rp 7 juta ke atas yang belum memiliki rumah. Timboel mengusulkan, batasan penghasilan MBR dinaikkan misalnya Rp 10 juta ke atas. “Imbal hasil bagi peserta harus diatur detail, misalnya di atas rata-rata suku bunga dana pemerintah,” katanya.

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bilang telah mengirim surat resmi ke pemerintah yang mengingatkan kewajiban ikutsertaan stakeholder dalam pembahasan aturan turunan UU Tapera. “Dalam rancangan PP, kami ingin iuran yang di tanggung pekerja dan pengusaha sama, sama-sama 1% atau 0,5% dan pemerintah juga mengalokasikan APBN,” ujar dia.

Maurin Sitorus, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian PU-Pera bilang, proses pembahasan penyusunan aturan turunan UU Tapera belum dimulai. Nantinya, akan diterbitkan tujuh peraturan pemerintah, peraturan Badan Pengelola (BP) Tapera, serta peraturan presiden dan keputusan presiden. “Sekarang, kami masih menunggu proses diundangkannya UU Tapera,” ujar dia.

Ia menjelaskan, UU Tapera memprioritaskan MBR. Sehingga aturan baru ini mendukung program pemerintah untuk menyediakan rumah masyarakat menengah ke bawah. “Kalau tak dibatasi, perbankan lebih mendahulukan pekerja berpenghasilan tinggi, ke depan mungkin kami akan kaji lagi nilainya,” ujar dia.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 

JAKARTA. Kalangan pekerja minta pemerintah meningkatkan batasan penghasilan kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan begitu, pekerja kelas menengah yang belum memiliki rumah bisa memanfaatkan fasilitas pembiayaan rumah dari Undang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mengatakan, sejak disahkan 23 Februari lalu, hingga kini pihaknya belum diikutsertakan dalam proses perumusan aturan turunan UU Tapera. “Serikat pekerja harus terlibat karena menyangkut pungutan upah buruh,” kata dia, Rabu (23/3).

Salah satu ketentuan yang akan diperjuangkan kalangan pekerja ialah pengaturan MBR yang akan menerima manfaat Tapera. Dia bilang aturan saat ini masih diskriminatif. Aturan yang berlaku saat ini ialah Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 48/2015 yang mengatur golongan MBR dengan gaji paling banyak Rp 4 juta untuk kepemilikan rumah tapak, serta penghasilan maksimal Rp 7 juta untuk rumah susun.

Faktanya saat ini masih banyak buruh yang berpenghasilan Rp 7 juta ke atas yang belum memiliki rumah. Timboel mengusulkan, batasan penghasilan MBR dinaikkan misalnya Rp 10 juta ke atas. “Imbal hasil bagi peserta harus diatur detail, misalnya di atas rata-rata suku bunga dana pemerintah,” katanya.

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bilang telah mengirim surat resmi ke pemerintah yang mengingatkan kewajiban ikutsertaan stakeholder dalam pembahasan aturan turunan UU Tapera. “Dalam rancangan PP, kami ingin iuran yang di tanggung pekerja dan pengusaha sama, sama-sama 1% atau 0,5% dan pemerintah juga mengalokasikan APBN,” ujar dia.

Maurin Sitorus, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian PU-Pera bilang, proses pembahasan penyusunan aturan turunan UU Tapera belum dimulai. Nantinya, akan diterbitkan tujuh peraturan pemerintah, peraturan Badan Pengelola (BP) Tapera, serta peraturan presiden dan keputusan presiden. “Sekarang, kami masih menunggu proses diundangkannya UU Tapera,” ujar dia.

Ia menjelaskan, UU Tapera memprioritaskan MBR. Sehingga aturan baru ini mendukung program pemerintah untuk menyediakan rumah masyarakat menengah ke bawah. “Kalau tak dibatasi, perbankan lebih mendahulukan pekerja berpenghasilan tinggi, ke depan mungkin kami akan kaji lagi nilainya,” ujar dia.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 

JAKARTA. Kalangan pekerja minta pemerintah meningkatkan batasan penghasilan kriteria masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dengan begitu, pekerja kelas menengah yang belum memiliki rumah bisa memanfaatkan fasilitas pembiayaan rumah dari Undang-Undang (UU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Timboel Siregar, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) mengatakan, sejak disahkan 23 Februari lalu, hingga kini pihaknya belum diikutsertakan dalam proses perumusan aturan turunan UU Tapera. “Serikat pekerja harus terlibat karena menyangkut pungutan upah buruh,” kata dia, Rabu (23/3).

Salah satu ketentuan yang akan diperjuangkan kalangan pekerja ialah pengaturan MBR yang akan menerima manfaat Tapera. Dia bilang aturan saat ini masih diskriminatif. Aturan yang berlaku saat ini ialah Permen Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 48/2015 yang mengatur golongan MBR dengan gaji paling banyak Rp 4 juta untuk kepemilikan rumah tapak, serta penghasilan maksimal Rp 7 juta untuk rumah susun.

Faktanya saat ini masih banyak buruh yang berpenghasilan Rp 7 juta ke atas yang belum memiliki rumah. Timboel mengusulkan, batasan penghasilan MBR dinaikkan misalnya Rp 10 juta ke atas. “Imbal hasil bagi peserta harus diatur detail, misalnya di atas rata-rata suku bunga dana pemerintah,” katanya.

Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bilang telah mengirim surat resmi ke pemerintah yang mengingatkan kewajiban ikutsertaan stakeholder dalam pembahasan aturan turunan UU Tapera. “Dalam rancangan PP, kami ingin iuran yang di tanggung pekerja dan pengusaha sama, sama-sama 1% atau 0,5% dan pemerintah juga mengalokasikan APBN,” ujar dia.

Maurin Sitorus, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian PU-Pera bilang, proses pembahasan penyusunan aturan turunan UU Tapera belum dimulai. Nantinya, akan diterbitkan tujuh peraturan pemerintah, peraturan Badan Pengelola (BP) Tapera, serta peraturan presiden dan keputusan presiden. “Sekarang, kami masih menunggu proses diundangkannya UU Tapera,” ujar dia.

Ia menjelaskan, UU Tapera memprioritaskan MBR. Sehingga aturan baru ini mendukung program pemerintah untuk menyediakan rumah masyarakat menengah ke bawah. “Kalau tak dibatasi, perbankan lebih mendahulukan pekerja berpenghasilan tinggi, ke depan mungkin kami akan kaji lagi nilainya,” ujar dia.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , ,

Tinggalkan komentar