Pemerintah Kepedean Menyusun Asumsi Makro

Pemerintah akhirnya menyodorkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016 ke Dewan perwakilan Rakyat (DPR), Kamis 2 Juni 2016. Asumsi yang disusun mencerminkan proyeksi pemerintah terhadap kondisi tahun 2016 yang tak banyak berubah dari sebelumnya.

Pemerintah masih optimistis bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3%. Padahal postur penerimaan dan belanja merosot cukup drastic. Penerimaan negara dipangkas dari semula di APBN 2016 sebesar Rp 1.822,6 triliun menjadi Rp 1.734,5 triliun di RAPBN-P 2016. Pemicunya, penerimaan perpajakan turun dari Rp 1.820,5 triliun jadi Rp 1.732,5 triliun.

Di sisi belanja, juga ikut disunat dari Rp 2.095,7 triliun menjadi Rp 2.47,9 triliun. Singkat cerita, defisit pun naik dari 2,15% menjadi 2,48%

Tak ayal, saat rapat kerja Senin 6 Juni 2016 lalu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro diberondong kritikan sebagian anggota Komisi XI DPR. Pemerintah mereka nilai terlalu optimistis. “Memang seyogyanya pemerintah optimistis. Tapi optimism itu harus mendekati realitas,” tandas Melchias Markus Mejeng dari Fraksi Golkar.

Kardaya Warnika dari Fraksi Gerindra menyitir asumsi pertumbuhan ekonomi yang disusun beberapa lembaga keuangan internasional. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 hanya 5,1%. International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan 4,9% dan Asian Development Bank (ADB) 5,2%.

Bambang berkilah, asumsi 5,3% disusun berdasarkan proyeksi pertumbuhan konsumsi rumah tangga 5,1%, konsumsi pemerintah tumbuh 6% dan investasi 6,3%. “Ekspor kita harapkan tumbuh 0,1% dan impor 0,4%,” terang Bambang.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo membela koleganya. Menurut Agus asumsi pemerintah masih sejalan dengan proyeksi bank sentral di kisaran 5%-5,4%. Penyokong utamanya, tetap konsumsi rumah tangga yang terjaga dan didukung asumsi inflasi di 4%.

Penilaian dari sisi BI, dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi sudah ditunjukkan lewat pelonggaran moneter dengan pemangkasan BI rate dan Giro Wajib Minimum (GWM). Mendorong permintaan domestic,” kata Agus.

Namun, DPR hingga di tingkat Badan Anggaran (Banggar) tetap tak menggubris penjelasan pemerintah dan BI. Dus, titik kompromi sementara ini akhirnya diputuskan di 5,2%. Dari sejumlah asumsi makro yang disodorkan pemerintah, hingga rapat Banggar Rabu siang 8 Juni 2016, Cuma asumsi pertumbuhan ekonomi yang mengalami perubahan.

Andalkan belanja

Sikap pemerintah ikut menuai kritik sejumlah ekonom. Lana Seolistianingsih menyebut, asumsi rumah tangga yang menjadi andalan pertumbuhan ekonomi tidak ditunjang kebijakan stabilitas harga, terutama pangan yang memadai. Alhasil, kata Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia ini, porsi belanja masyarakat untuk kebutuhan non-pangan sulit didongkrak.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak berusaha melakukan antisipasi terhadap siklut kuartalan pertumbuhan ekonomi. Selama ini, laju ekonomi di kuartal I selalu lambat dan mulai naik di kuartal II dan III. Pada kuartal terakhir, roda ekonomi kembali melambat. “Kuartal II dan III agak tertolong karena biasanya ada puasa dan lebaran. La, masak mau diusulkan puasa dan lebaran setiap triwulan?” tukas Lana sembari bercanda.

Pemerintah bisa melawan siklus tersebut dengan mengubah tahun anggaran dari per 1 Januari menjadi per 1 Oktober. Beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eripa yang sukses mengatas miss-management cashflow dengan jurus sederhana tersebut.

Penerimaan pajak memang baru mengalir pada kuartal II tapi strategi pembiayaan, misalnya, sudah bisa dilancarkan sejak awal Oktober tahun sebelumnya. Dengan begitu, sepanjang tahun pertumbuhan ekonomi akan terakselerasi karena pemerintah sudah punya uang untuk membiayai belanjanya.

David Sumual menimpali bahwa investor di pasar modal dan pelaku bisnis sejatinya lebih senang dengan APBN konservatif. Kalau realisasinya di atas asumsi, aprsiasi positif bakal berdatagan.

Cuma, kata Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) itu, dalam dua tahun terakhir asumsi makro APBN selalu bias ke atas tapi realisasi selalu di bawah. “Pemerintah dipresepsikan over promise tetapi under-delivery. Akhirnya, sentiment bisnis kurang baik. Ada punishment juga di pasar,” tandasnya.

Kaki pada “enggak, nginjek bumi”, tuh!

Sumber: Tabloid Kontan , 13  Juni  – 19 Juni 2016

Penulis : Tedy Gumilar, Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar