Brexit dan Trump

Banyak orang kaget, melihat masyarakat Inggris minggu lalu lebih memilih memisahkan diri dari Eropa. Inggris yang selama ini dikenal sebagai salah satu pelopor keberadaan Negara-negara di Eropa ternyata memilih keluar dari Uni Eropa. Pasar finansial di seluruh dunia pun serentak melemah. Pasar memang sama sekali tidak memprediksi Inggris akan benar-benar hengkang dari Uni Eropa.

Ternyata hal yang tadinya mustahil berubah jadi kenyataan. Walau segera setelah hasil referendum keluar, banyak pemilih Brexit mengaku menyesal. Mereka menganggap pilihannya untuk keluar dari Uni Eropa tak berdampak besar.

Di era digital sekarang ini, di mana setiap orang bisa mencari dengan mudah di internet, ternyata para pemilih itu abai untuk mencari tahu. Menurut tren di Google, banyak orang-orang di Inggris baru mencari tahu tentang Uni Eropa setelah hasil referendum keluar. Jadi mereka memilih sesuatu yang begitu penting dupicu oleh ketakutan ancaman makin membanjirnya para imigran ke Eropa, atau malahan ketidakpedulian pada kondisi sekitar.

Kondisi mirip, sedang terjadi di Amerika Serikat. Sesuatu yang mustahil, tapi mengandalkan sentimen rasialis dan ketakutan bisa jadi mewujud kenyataan. Tak heran kalau banyak analis yang menghubungkan Brexit, dengan naiknya peluang Donald Trump memenangkan pemilihan umum Amerika Serikat.

Trump sendiri memilih memanfaatkan momen ini untuk menaikkan pamornya. Waktu berkunjung ke Skotlandia, Trump mencuitkan “teror” lewat tweetnya mengatakan Skotlandia akan bergejolak akibat Brexit. Tapi dengan Brexit, menurut Trump rakyat Skotlandia telah merebut negaranya kembali, seperti yang terjadi di Amerika. Tentu saja, cuitan ini disambut kemarahan dari banyak netizen yang mengecam pendapat Trump.

Tapi di sisi lain, Trump mendapatkan kepopulerannya berkat sikapnya yang ekstrem. Dari calon presiden yang diperkirakan paling cepat tersisih jadi calon presiden yang diusung Partai Republik. Kita di Indonesia memang belum mempunyai banyak agenda politik. Tapi kondisi pasar dan perekonomian secara keseluruhan masih bergantung pada negara lain. Terutama Amerika Serikat yang menjadi patokan perekonomian dunia.

Jadi dalam kondisi perekonomian dunia seperti sekarang ini, bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau kita menemukan kembali kemustahilan yang jadi kenyataan berikutnya di negeri Paman Sam.

Sumber: Harian Kontan 29 Juni 2016

Penulis: Narita Indrastiti, Eldo Christoffel Rafael

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar