JAKARTA – Masa suram tengah melanda industri pengolahan kako. Euforia dan semarak bisnis olahan kakao dalam tiga tahun terakhir mulai terhenti. Bahkan, masa depannya tampak pahit.
Kesulitan mencari bahan baku biji kakao akibat penurunan produksi dalam negeri membuat kapasitas produksi industri olahan kakao merosot. Beberapa perusahaan bahkan memutuskan untuk tidak lagi berproduksi.
Dengan perkiraan produksi biji kakao lokal tahun ini sebanyak 350.000 ton, kebutuhan industri mencapai 850.000 ton. Alhasil, industri olahan kakao harus mencari sebagian besar pasokan bahan baku kakao dari impor.
PiterJasman, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakai Indonesia ( AIKI), menyatakan, krisis pasokan kakao terjadi karena produksi biji kakao di Tanah Air saat ini hanya 250 kilogram (kg) per hektare (ha) dari total luas kebun kakao sekitar 1,4 juta ha. Padahal, sebelumnya produksi biji kakao bisa mencapai 500 kg per ha. “Perkebunan yang sudah tua dan produktivitas rendah,” ujarnya, Rabu (13/7).
Ironisnya, pemerintah seolah abai terhadap komoditas ini. Buktinya, dalam pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016, anggaran pengembangan tanaman kakao dipangkas dari Rp1 ,2 triliun menjadi Rp 325 miliar.
Opsi untuk impor pun juga semakin sulit dilakukan. Selain dikenai bea masuk sekitar 5%, negara eksportir kakao dunia, seperti Pantai Gading dan Ghana, juga mulai mengurangi produksi biji kakao. Sebagian petani di negara itu mengalihkan lahanya menjadi kebun kelapa sawit. Alhasil, pasokan kakao dunia berkurang dan buyer memburu kakao, termasuk dari Indonesia.
Zulhefi Sikumbang, Ketua Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) menyebut, penurunan produksi dan pasokan kakao telah membuat 13 perusahaan pengolahan kakao berhenti beroperasi. Total penurunan kapasitas terpasang industri olahan kakao sebanyak 385.000 ton.
Kini yang terasa tinggal 560.000 yang dikuasai delapan perusahaan. “Salah satu perusahaan yang tak lagi beroperasi adalah PT Kalla Cocoa Industry milik, Wakil Presiden Jusuf Kalla,” ungkapnya.
Krisis pasokan kakao di dalam negeri diprediksi bakal berlanjut. Soalnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para petani dan pengepul lebih senang menjual hasil panen kakao ke pasar ekspor ketimbang ke industri pengolahan lokal. Harga ekspor lebih tinggi, tapi disisi lain industri lokal ingin membeli dengan harga lebih rendah.
Penulis: Umar Idris
Sumber: Harian Kontan, Kamis 14 Juli 2016 hal 1
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar