Jika Duel Berlangsung, Anda Membela Siapa?

pajak3

Nada suara Muhamad Haniv meninggi di ujung sambungan telepon, Rabu (21/9). Terutama, saat KONTAN bertanya mengapa Pemerintah Indonesia terkesan ngotot menuntut pajak dari Google. Kata Kepala Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Khusus Jakarta ini, Google ogah membayar pajak seperti perusahaan-perusahaan internet lain yang berbisnis di Indonesia.

Dan, Ditjen Pajak punya alasan kuat untuk naik pitam. Data pajak akhir 2015 menyebutkan, pasar iklan perusahaan internasional over the top (OTT) alias perusahaan internet yang beroperasi di Indonesia, mencapai US$ 830 juta. Nilainya sekitar Rp 10,86 triliun jika mengacu kurs sekarang, yaitu Rp 13.085 per US$. “Nah, sekitar 70%-nya dikuasai oleh Google dan Facebook, “tegas Haniv.

Dengan demikian, masih menurut cerita Haniv, Google dan Facebook menguasai sekitar Rp 7,6 triliun. Dari nilai tersebut, Google menguasai sekitar 70%-an. Artinya, Google setidaknya menguasai pasar iklan senilai Rp 5,32 triliun atau hampir separuh dari total nilai pasar iklan di Indonesia yang nilainya Rp 10,86 triliun tadi. “Perusahaan iklan segede apapn di Indonesia tidak akan pernah menyamai Google. Ini, kan, sudah gila banget penghasilannya. Hebat sekali. Tapi, pajaknya tidak ada sama sekali, “tegas Haniv.

Dari situ, lanjut Haniv, Ditjen Pajak merasa harus bergerak demi keadilan, bangsa, dan negara. Semua perusahaan iklan di dalam negeri membayar pajak. Sementara, Google, lanjut Haniv, mendapat penghasilan dan mengeruk pendapatan dari  Indonesia, tetapi tidak membayar pajak. “Enggak adil, dong!” cetus Haniv.

Bahkan, masih kata Haniv, pasar iklan dalam negeri rusak gara-gara Google. Banyak sekali perusahaan iklan yang gulung tikar kalah bersaing. Di samping itu, Pemerintah Indonesia sendiri merasa seharusnya menerapkan kebijakan public mengimbangi kemajuan zaman agar tidak menimbulkan kerugian. “Ini, kan sekarang, pajaknya loss. Sampai Bu Sri Mulyani saja marah-marah, “celetuk Haniv.

Masih berdasarkan data, Ditjen Pajak mengklaim pertumbuhan bisnis Google sebesar 20%-30% per tahun. Kalau dari pasar iklan di Indonesia saja Google mengeruk keuntungan hingga Rp 5,32 triliun. Dengan demikian, jika pertumbuhan 20%-30%, tahun ini pendapatan Google yang diperoleh dari Indonesia bisa mencapai Rp 6,38 triliun-Rp 6,91 triliun. “Bayangkan! Pendapatan segede itu tak membayar, “tegas Haniv.

Dianggap menunggak pajak Rp 5,47 triliun.

Di Indonesia Google memiliki belalai usaha berbadan hukum bernama PT Google Indonesia (PTGI). Persoalannya, menurut Pengamat Pajak Yustinus Prastowo, Google menetapkan PTGI hanya berfungsi sebagai Marketing saja. Sementara, duit yang diperoleh dari Indonesia sebsar Rp 5,32 triliun tersebut mengalir ke Singapura.

Pendapatan PTGI di Indonesia hanya dari fee atas bisnis yang dilakoni Google Singapura alias Google Asia Pacific Pte Ltd. Yang berkantor di Singapura. Nilai fee-nya, kata Haniv, kira-kira kurang dari 1 % total pendapatan bisnis Google di Indonesia. “Seperempat dari fee itulah PTGI bayar pajaknya, “ujarnya.

Itu artinya, jika dihitung fee sebesar 1% saja, pendapatan PTGI Cuma sekitar Rp 0,05 triliun alias Rp 53 miliar. Jadi, pembayaran pajak dari PTGI yang masuk ke kantong kas Pemerintah Indonesia kira-kira sekitar ¼ x Rp 53 miliar atau Rp 13.25 miliar.

Atau, menurut istilah Prastowo, lantaran PTGI hanya berfungsi  sebagai kantor pemasaran, besaran pajak yang dibayar sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final sesuai pasal 15 Undang-Undang No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Tarif akan berbeda jika Google berstatus perusahaan  Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang punya kewajiban bayar pajak 25% dari penghasilan plus yang lain-lain, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPn).

Padahal, pendapatan Google di Indonesia mencapai Rp 5,32 triliun! Dan menurut Pemerintah Indonesia, Google mempunyai bentuk BUT di Indonesia. Tarif untuk BUT sebesar 25% dari penghasilan atau sama dengan nilai pajak badan.

Kalau begitu, berapa pajak yang harus dibayar Google kepada pemerintah Indonesia, sebenarnya?

Nilainya, untuk tahun 2015 saja, sekitar Rp 1 triliun. Sementara total lima tahun ke belakang, sekitar US$ 400 juta atau sekitar Rp 5,23 triliun jika menggunakan kurs Rp 13.085 per dollar AS. Itu pun, lanjut Haniv, belum termasuk denda bunga 150% dan PPn.

Jadi, total kewajiban Google membayar pajak ke Pemerintah Indonesia, sekitar US $ 418 atau kira-kira Rp 5,47 triliun. Selama ini, menurut Haniv, Google tak pernah membayar pajak dari penghasilan yang diperolehnya dari Indonesia.

Status terakhir Google, saat ini berada di tingkat pemeriksaan terhadap bukti permulaan. “Dalam waktu dekat sudah meningkat ke tingkat penyidikan pidana,”kata Haniv.

Alasan Ditjen Pajak adalah UU No.28/2007 tentang Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pasal 29 UU KUP, menyebut, Ditjen Pajak berhak memeriksa semua usaha di Indonesia. Sementara pasal 39 UU KUP tertulis, penolakan terhadap pemeriksaan, diancam hukuman pidana.

Bagaimana solusi menang dari Google?

Saat ini, Ditjen Pajak sudah menyiapkan semacam resume yang akan di serahkan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Isinya, latar belakang, dasar hukum, proses dan nilai potensi dari kasus perpajakan Google. Resume itulah yang akan menjadi”senjata”bag Pemerintah melawan Google.

Solusi paling dekat yang saat ini diusahakan Pemerintah adalah membuktikan bahwa Google mempunyai BUT di Indonesia. Solusi jangka panjang, Pemerintah siap perang dengan Google, bahkan sampai di pengadilan internasional. “Jika Google menuntut Indonesia sampai ke pengadilan internasional, Sri Mulyani siap,”tegas Haniv.

Strategi Google siasati pajak di banyak negara

Kasus yang terjadi di Indonesia, sebanranya mirip dengan yang dihadapi Pemerintah Inggris Raya. Dan di seluruh dunia, hanya Pemerintah Inggris saja, satu-satunya yang mampu menang terhadap Google.

Bulan Januari 2016, Google terpaksa membayar £ 130 juta atau sekitar Rp 2, 22 triliun dengan kurs Rp 17.100 per Poundsterling. Yang diusahakan Pemerintah Inggris, intinya hampir sama dengan yang terjadi juga di Indonesia.

Richard Murphy, Pengamat Pajak dari Tax Research LLP, bercerita, dengan menggunakan data terbaru, nilai omzet Google di seluruh dunia ternyata lebih dari US$ 70 miliar per tahun. Nah, dari total omzet tersebut, kira-kira omzet Google yang berasal dari Inggris sekitar £ 4 miliar alias Rp 68,4 triliun.

Biasanya, lanjut Richard, Google secara global menetapkan margin keuntungan sekitar 25% dan kadang-kadang lebih dari itu. Maka, dari total omzet, nilai pendapatan Google di Inggris  sebenarnya sekitar £ miliar lebih atau Rp 17,1 triliun.

Sayangnya, pendapatan itu mengalir ke kantor Google di Irlandia. Persis sekali dengan kasus Google di Indonesia di mana PTGI hanya membayar fee terhadap Google di Singapura. Google di Inggris membayar fee terhadap Google di Irlandia.

Lewat kebijakan pajak baru, akhirnya Pemerintah Inggrs menuntut Google membayar tunggakan pajak hingga 10 tahun ke belakang. Meski Pendapatan Google 10 tahun terakhir mencapai kira-kira £ 7,2 miliar atau Rp 123,12 triliun, toh Google hanya membayar tagihan pajak £ 130 juta atau sekitar Rp 2,22 triliun saja.

Juru bicara Google di Inggris bilang, pembayaran ini dilakukan Google karena Pemerintah Inggris membuat hukum pajak sebagai dasar penegakan hukum. “Dan Google mengikuti hukum berlaku di Inggris, “tegas juru bicara tersebut.

Demikian juga yang terjadi di Italia. Pemerintah Italia mengecam Google memperoleh keuntungan dari negaranya tetapi melarikan uang tersebut ke Irlandia. Google diminta membayar tunggakan pajak hingga € 300 juta atau sekitar Rp 4,41 triliun dengan kurs Rp 14.700 per 1 Euro. Tuntutan tersebut dihitung pemerintah Italia setelah menghitung total pendapatan rata-rata Google selama enam tahun terakhir.

Bagi Pemerintah Italia, pengalihan pendapatan ke Irlandia tersebut merupakan manipulasi pajak. Dengan mekanisme yang mirip seperti yang dilakukan di Inggris, Google hanya membayar pajak ke Pemerintah Italia sebesar € 2,2 juta saja atau sekitar Rp 32,34 miliar sepanjang 2015.

Di Prancis, menurut cerita Haniv, malah lebih parah. Modus operandi dan model kasusnya pun serupa. Google memperoleh keuntungan iklan dari Prancis, namun membawanya ke kantor di Irlandia. Prancis menuntut Google membayar pajak sekitar € 1,6 miliar atau Rp 23,52 triliun. “Pemerintah Prancis malah menggerebek kantor perwakilan Google di Prancis karena mereka bandel tak mau bayar pajak, “kata haniv ke KONTAN, Rabu (21/9).

Harus cermat memasang strategi berseteru

Persoalannya, khusus di Indonesia, kasus Google ini lebih menantang bagi Pemerintah. Apa pasal?

Pertama, berdasarkan free trade agreement alias perjanjian perdagangan bebas, sah-sah saja bagi  PT Google Indonesia alias PTGI melemparkan bisnis iklannya ke Google di Singapura. Jadi, pemasangan iklan dan pembayaran melalui PTGI dan seharusnya menggunakan Invoice di Indonesia, dilemparkan ke Google Singapura.

Sehingga, pendapatan masuk ke kantong Google Singapura memakai tagihan di Singapura. Sedangkan PTGI hanya mendapatkan sejumlah fee dari Google di Singapura atas perolehan klien di Indonesia.

Taruh missal, nilainya US$ 1.000. Oleh PTGI, klien ini disuruh menuntaskan pembayaran ke Google di Singapura memakai taghan disana juga. Artinya, penetapan pajak mengikuti sistem hukum pajak Singapura, meski klien tersebut berasal dari Indonesia.

Menurut Haniv sendiri, model seperti itu sah-sah saja dan tidak melanggar hukum. Namanya, strategi pajak alias tax planning. Cuma, melihat total pendapatan yang diperolehnya dari iklan di Indonesia yang mencapai puluhan triliun, apakah itu namanya tidak illegal?

Karena itulah, menurut Juru bicara Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama, model yang diterapkan Google ini termasuk ke dalam aggressive tax planning. Dan strategi aggressive ax planning ini merupakan tindak illegal.

Kedua, investasi. Menurut Pengamat Pajak Yustinus Prastowo, langkah Pemerintah Indonesia akan cukup berat dan menantang, terutama karena factor investasi.

Prastowo bilang, Pemerintah harus hati-hati dan perlu menerapkan strategi yang smooth. Jika tidak, tentu saja akan banyak investor asing yang bisa tercederai kepercayaannya terhadap Pemerintah Indonesia. “Tapi harus dibedakan, perusahaan yang sudah growing-up dengan perusahaan yang sudah established seperti Google ini, “tutur Prastowo.

Ketiga, menciptakan level playing field yang sama. Jangan sampai bertujuan memaksa Google berada di level yang sama dengan perusahaan lain yang sejenis, tapi malah menjadi  boomerang. Makanya, perlu duduk bersama antarlembaga pemerintah. “Saya kira ini soal bargaining. Kita punya potensi dan Google butuh Indonesia. Cuma, apakah masyarakat siap?”tanya Prastowo.

Ketika kelak puncak perseteruan tiba, bisa jadi masyarakat Indonesia akan terbelah menjadi dua golongan besar. Satu pihak akan membela pemerintah. Satunya lagi mendukung Google. Kenyamanan fitur-fitur Google telah melenakan banyak orang; lupa bahwa tak ada makan siang gratis, bahkan rantangan kiriman embah.

Sumber: http://www.pengampunanpajak.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Pengampunan pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar