
Tim reformasi perpajakan telah dibentuk Menteri Keuangan pada akhir Desember lalu. Sampai 1 Januari 2018 ke depan, Tim Reformasi Perpajakan akan bekerja mempersiapkan turunan konsep Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang paling ideal sesuai kebutuhan di Indonesia.
Kebutuhan akan BPP untuk konteks Indonesia memang agak spesifik. Dengan atribut sebagai anggota kelompok G-20-20 negara di dunia dengan PDB terbesar Indonesia semestinya bisa meningkatkan rasio pajak minimal hingga 15% seperti Negara berkembang lainnya.
Sejauh ini, posisi rasio pajak masih berkisar 11%-12%. Angka ini lebih rendah dari capaian rasio pajak Malaysia telah menyentuh 17%, Thailand 16%, serta Singapura dan Filipina 14%. Rasio pajak di tanah air hanya sejajar dengan Vietnam meski lebih tinggi dari Burma yang hanya 5%.
Rendahnya rasio pajak juga di konfirmasi dari nilai relatif lainnya. Selama 6 tahun terakhir, realisasi pajak selalu lebih rendah dari target. Target pajak di APBN ditentukan berdasarkan asumsi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga minyak, produksi minyak, dan nilai tukar hasil kesepakatan DPR dengan pemerintah.
Dengan asumsi makro yang eksogen, Ditjen Pajak dibebani target penerimaan pajak sebesar penjumlahan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan extra effort. Ironisnya lagi, target pajka yang tidak terkejar dijadikan alat ukur kinerja tax effort nya. Padahal, komponen tax effort hanya menyokong sebagian kecil dari besaran target penerimaan pajak.
Sangat boleh jadi, tax effort yang dilakukan Ditjen Pajak terbentur oleh rendahnya kepatuhan wajib pajak (WP). Dari jumlah pekerja aktif yang mencapai 115 juta jiwa, baru sekitar 32 yang terdaftar sebagai WP. Dari jumlah WP yang terdaftar, WP yang menyampaikan SPT hanya 12 juta. Konkritnya, pembayar pajak aktif hanya 12 juta.
Dalam konteks ini, BPP harus bisa merombak kendala di atas. Secara institusional, BPP diproyeksikan menjadi bahan independen yang berada langsung dibawah presiden. Sasaran utamanya, menjadi tulang punggung penerimaan negara guna membangun kemandirian bangsa.
Secara operasional, pembentukan BPP akan memudahkan pengelolaan penerimaan Negara secara produktif dan efektif. Tampaknya, pemerintah hendak menyejajarkan antara otoritas pajak (BPP), dengan bendahara Negara (Kemkeu), otoritas moneter (BI), serta otoritas financial (OJK dan LPS) dalam merumuskan kebijakan ekonomi makro.
Solusi konflik
Sebagai konsekuensinya, BPP harus diberi kewenangan lebih besar dalam mengatur SDM, organisasi dan anggaran sendiri. Otonomi itu mendorong BPP lebih independen secara organisasi dan bisa mengurangi tekanan politik yang dialamatkan pada Kemkeu.
Pembentukan BPP juga menjadi solusi atas benturan kepentingan di Kementerian Keuangan (Kemkeu). Selama ini, sadar atau tidak, muncul ‘konflik horizontal’ antara Ditjen Pajak sebagi unit kerja penerimaan dan pengumpul pajak dengan Ditjen Anggaran sebagai unit kerja pengelolaan alokasi belanja Negara.
Sejalan dengan program pengampunan pajak, basis data perpajakan yang dimiliki kini berubah. Potensi-potensi baru muncul seiring dengan pelaporan tambahan harta dari para WP. Basis data baru itu diharapkan meningkatkan kemampuan dalam mengestimati rencana penerimaan pajak.
Dengan demikian, BPP bisa ikut ‘Bertanggungjawab’ jika target pajak tidak tercapai. Sebagai second opinion, BPP dapat menetapkan target penerimaan pajak alternatif berdasarkan pendekatan mikro, seperti jumlah WP terdaftar, jumlah pembayar pajak dan kepatuhan WP. Formula ini akan menghasilkan basis pemajakan yang sifatnya rutin.
Rutinnya penerimaan pemerintah menjamin belanja negara aman. Oleh karenanya, pemerintah tak dipusingkan lagi oleh kemungkinan mengambil langkah darurat, semacam pemangkasan belanja, penundaan transfer ke daerah dan penjadwalan ulang proyek strategis demi memenuhi UU tentang batasan rasio defisit dan utang.
Di sisi lain, pembentukkan BPP harus memenuhi semua kaidah pokok yang dipersyaratkan oleh berdirinya sebuah lembaga. Masalah tipikal menyangkut tata kelola, struktur komando, pengukuran kinerja, transparansi, pertanggungjawaban, mekanisme pengawasan, hingga integritas aparatnya tentu harus clear dahulu.
Alhasil, BPP nantinya harus bisa memanfaatkan kewenangannya secara optimal untuk meningkatkan penerimaan pajak demi memperbaiki citra kebijkan fiskal. Dengan demikian, APBN yang kredibel bukan lagi hanya fatamorgana belaka. Selamat bekerja, Tim Reformasi Perpajakan.
Penulis: Haryo Kuncoro
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan komentar