Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Pribahasa klasik tersebut sangat tepat menggambarkan nasib perusahaan tambang nikel. Sudah tersungkur lantaran kebijakan pemerintah yang melonggarkan keran ekspor nikel dan komoditas mineral lainnya, awal tahun ini, sekarang mereka langsung merasakan dampaknya dari harga nikel yang terkapar.
Harga nikel memang langsung jeblok tak lama setelah Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan relaksasi ekspor mineral dengan meluncurkan empat beleid soal mineral dan batubara sekaligus.
Sebelum aturan pembukuan ekspor mineral mentah itu terbit, harga nikel stabil di level US $ 11.400 per ton. Tetapi begitu pemerintah mengumumkan kebijakan pelonggaran ekspor mineral, harga nikel langsung anjlok. Rabu (19/1) lalu misalnya, harga nikel sudah turun ke level US$ 10.200 per ton.
Pemicunya adalah peraturan mentri (permen) ESDM nomor 5 Tahun 2017 tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negri, salah satu beleid dari 4 aturan anyar yang dirilis pemerintah pekan lalu.
Permen tersebut mengatur perluasan jenis komoditas mineral yang keran ekspornya dibuka dan pelonggaran batasan minimum pemurnian. Permen juga mengatur syarat teknis untuk bisa memperoleh rekomendasi ekspor tersebut.
Direktur pengembangkan PT indoferro Jonaan Handojo mengungkapkan, kebijakan pemerintah ini menjadi besar karena indonesia memang salah satu sumber bahan baku utama nikel kadar rendah terbesar didunia. “sejak ada kebijakan ini harga nikel dunia terus bergejolak,” katanya.
Bakal Kalah Bersaing
Menurut jhonatan, aturan ini tidak jelas karena sulit membedakan nikel ore yang low grade dengan high grade karena warna dan bentuknya yang sama. Untuk mengetahui perlu pengecekan khusus. “lantas pemerintah apa mau bangun laboratorium di wilayah pertambangan di daerah pedalaman sana buat ngecek semua ore yang banyak itu,” katanya bingung.
Beleid ini, menutut jhonatan, adalah bukti aturan anyar pemerintah itu tidak jelas dan tidak dirumuskan dengan baik. Dengan kebijakan ini, wakil ketua asosiasi perusahaan industri pengolahan dan pemurnian indonesia (AP3I) itu memprediksi akan ada nikel berkadar rendah, yang diekspor ke luar negri.
Dampaknya, tinggal industri smelter dalam negeri yang kebingungan memperoleh pasokan bahan baku. Ujungnya, alih-alih makin banyak industri smelter yang tumbuh, perusahaan pengolahan perlahan akan mati. “sekarang saja sudah banyak industri smelter di luar negri yang mati siap siap di buka kembali.” Ujarnya
Presiden direktur PT Vale Indonesia Tbk (INCO) niko kanter berbagi kekhawatiran yang sama. Ia menilai, pembukaan keran ekspor nikel ore akan berdampak pada industri smelter nikel di indonesia. Spalagi, banyak smelter yang dibangun, bahkan ada yang sudah produksi, sejak pemerintah melarang ekspor bijih nikel.
Aturan ini juga akan menyebabkan perusahaan smelter yang ada di indonesia kalah besaing dengan smelter yang ada di China. Sehingga pembangunan smelter baru akan berhenti dan smelter yang sudah berhenti berproduksi akan berhenti (lihat juga halaman 8-9)
Sebab, pembisnis akan memilih mengekspor bijih nikel karrena harganya yang lebih tinggi. Apalagi niko juga meragukan pengawasan dan penegakan hukum aturan ini. Pada praktiknya hampir dipastikan ekspor tidak hanya terbatas pada nikel ore berkadar rendah saja.
Pemerintah sendiri saja punya alasan dengan batas minimum pengolahan tersebut. Menurut bambang gatot ariyono, direktur jendral mineral dan batubara, kandungan nikel low grade (nikel ore limonit) di bawah 1,7% selama ini kurang banyak dimanfaatkan karena hanya cocok diolah dengan smelter tanur tiup atau blast furnance karena kadar besinya yang tinggi, sekitar 27%-30%
Sementara nikel high grade (nikel ore saprolite) dengan kandung 1,9%-2,4% memiliki kadar besinya hanya 12% sehingga bisa diolah dengan smelter yang menggunakan listrik (rotary klin electric furnance).”asas konservasi itu tidak boleh ada yang waste. Harus dimanfaatkan. Jangan jangan cadangan nikel kita kebanyakan yang 1,7% ke bawah. Kita mau masuk ke situ,” kata bambang.
Sedangkan soal keberlanjutan industri smelter, wakil mentri ESDM arcandra tahar menjamin, proses untuk mengejar peringkat nilai tambahan tetap dilakukan. Sebab, pemerintah tetap menjadikan proses pembangunan smelter sebagai salah satu syarat pemberian rekomendasi ekspor sesuai permen ESDM Nomor 5/2017 dan permen nomor 6/2017
Pemerintah akan memberikan waktu selama lima tahun sejak sekarang untuk tiap pemegang izin usaha pertambanagn khusus ( IUPK) untuk membangun smelter. Pemerintah akan mengkaji setiap 6 bulan progres dari pembangunan smelter tersebut. Kalau prgresnya tidak membaik, izin ekspor mereka bisa dicabut.
Cuma beranikah pemerintah mencabut izin ekspor? Selama ini yang kerap terjadi, pemerintah justru mengalah dan merevisi aturan lagi. “ waktu yang membuktikan,” kata archandra.
Yang jelas, ia mengakui, untuk pemegang IUPK memang tidak memiliki batas waktu kapan harus melakukan pengolahan dari luar negri. Sebab, pasal 170 UU Nomor 4/2009 bilang yang dikenakan batas waktu hanyalah pemegang KK pertambangan. Maka, agar bisa tetap mengekspor, pemegang KK harus berubah menjadi IUPK. “ini angle hukum yang kita manfaatkan untuk mengeluarkan peraturan sekarang,” ujar achandra.
Celah hukum ini tik ditampilkan oleh pemegang KK. PT Freeport Indonesia misalnya, sudah menyatakan kesediaan untuk mengubah status usaha jadi IUPK Riza Pratama, juru bicara freeport, mengaku sudah menyampaikan kesediaan kepada pemerintah untuk mengubah status usaha menjadi IUPK “ tetapi bila disertai dengan perjanjian stabilitas investasi serta jaminan kepastian hukum dan fiskal,” ujar dia
Melanggar UU
Cuma, Marwan Batubara, Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) menilai, pemerintah telah melanggar UU. Sebab, aturan pembatasan ekspor itu datang dari UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. Sementara pemerintah justru menggunakan PP, yang kedudukan hukumnya lebih rendah, untuk menganulir UU tersebut. “Pemerintah harusnya menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), “ ujar Marwan.
Mantan anggota dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu juga menilai pemerintah telah merusak kepastian hukum dan investasi dengan kebijakan yang melonggarkan ekspor. Sekarang pengusaha Smelter yang telah berinvestasi miliaran dollar AS menghadapi ancaman keberlangsungan usaha. “ Malah mereka yang dari dulu tidak punya itikad baik membangun dikasih angin,” kata Marwan.
Direktur Eksekutif Refominer Institute Komaidi Notonegoro mengakui, pemerintah berada dalam posisi yang sulit karena tidak mengiinginkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) dari industri tambang yang harus tutup karena tak bisa mengekspor. Begitu juga pertumbuhan ekonomi di daerah yang bisa merosot jika industri tambang merangkak.
Persoalanna, dari aspek kepentingan, kebijakan ini jelas tidak baik karena mengorbankan kepentinagn Negara yang lebih besar dalam jangka panjang. Pemerintah juga keilangan kredibilitas karena tidak mampu menunjukkan konsistensi kebijakan. “Saya sudah lama menyoroti masalah tahap teknis hilirisasi yang harus dicapai yang tidak jelas.” Katanya. Maka, sebaiknya ini kali terakhir pemerinah terpaksa menjilat lidah sendiri.
Wakil Menteri ESDM mengaku pemerintah mengambil celah hukum untuk merilis aturan.
Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komis VII DPR, juga mengaku sejak lama memperingatkan pemerintah soal potensi pelanggaran UU jika pemerintah tidak mampu memenuhi target hilirisasi di awal tahun. Langkah pemerintah yang memilih merilis PP untuk mengambil celah hukum dari ketentuan UU jelas tidak bisa diterima. “ini menunjukkan pemerintah dan industry tidak menghormati UU,” katanya.
Menurut Setya, DPR kemungkinan akan membentuk panitia kerja (Panja) untuk membahas kebijakan pemerintah ini. Sekaligu, untuk mengawal konsistensi kebijakan kedepan.
Kalau DPR masih berencana, koalisi masyarakat sipil sudah lebih dulu mengambil langkah. Koalisia masyarakat sipil sudah lebih dulu mengambil langkah koalisi yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat, antara lain publish what you pay (PWYP) Indonesia, Jaringan Tambang (jatam), korps alumni HMI (Kahmi) wahana lingkungan hidup (Walhi) akan mengajukan judikal review ke MA
Ahmad Redi, pakar hukum sumber daya alam universitas Tarumanagara UNTAR yang menjadi juru bicara koalisi itu, mengungkapkan, perubahan status pemegangang KK menjadi IUPK tidak bisa serta merta. Sebab, perubahan status itu ada tahapannya yakni perubahan menjadi wilayah pencadangan Negara (WPN) dan kemudian jadi wilayah ijin usaha pertambangan khusus (WIUPK)
WIUPK ini lantar ditawarkan dulu ke BUMN. Bila BUMN tidka berminat baru ditawarkan ke swasta “perubahan KK langsung IUPK itu cacat hukum,”Ujarnya. Nah lo !
Sumber: Tabloid kontan, rabu 25 januari 2017
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar