Alasan Menkeu Ingin Intip Data Nasabah
Kendati pemerintah sudah melakukan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty), ternyata aset Warga Negara Indonesia (WNI) yang belum dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak, cukup besar. Nilainya ditaksir mencapai sekitar Rp 2.076 triliun.
Jumlah aset tersebut dipaparkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, kemarin.
Dia menjelaskan, data yang bersumber dari McKinsey pada tahun 2014 itu menyebutkan, jaringan kekayaan dari Indonesia di luar negeri sekitar Rp 3.250 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 2.600 triliun tersimpan di Singapura dalam bentuk deposito, equity, hingga fixed income.
“Deklarasi aset di luar negeri dan repatriasi lalu sebanyak Rp 1.183 triliun, sehingga diperkirakan masih ada potensi Rp 2.076 triliun aset WNI yang disimpan di luar negeri dan belum diungkap di program pengampunan pajak,” ungkap Sri Mulyani.
Ani –panggilan akrab Sri Mulyani–menilai, masih besarnya aset WNI di luar negeri tergambar dari hasil program tax amnesty (Juli 2016 sampai Maret 2017). Menurutnya, dari deklarasi aset di luar negeri sekitar Rp 1.036 triliun dari total Rp 1.183 triliun, tersimpan di lima negara suaka pajak. Yakni, di Singapura sebanyak Rp 766,05 triliun, British Virginia Island Rp 77,5 triliun, Hong Kong Rp 58,17 triliun, China Rp 53,14 triliun, dan Australia Rp 42,04 triliun.
Sedangkan dari sisi repatriasi, sebanyak Rp 85,35 triliun berasal dari Singapura, Rp 16,51 triliun dari Cayman Island, Rp 16,31 triliun dari Hong Kong, Rp 6,57 triliun dari British Virginia Island, dan sekitar Rp 3,56 triliun dari China.
“Dari sini juga menandakan bahwa selama ini Ditjen Pajak tidak mengerti cara untuk mengungkap harta dari wajib pajak dan adanya keterbatasan akses terhadap data keuangan di perbankan. Dan, akhirnya memberikan dampak pada kepatuhan ini,” tuturnya.
Ani menjelaskan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Untuk Keperluan Perpajakan, diterbitkan sebagai landasan untuk melaksanakan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information /AEoI).
Dengan melaksanakan pertukaran informasi, lanjut Ani, Indonesia nantinya akan dapat memperoleh informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang disimpan di luar negeri dan belum diungkapkan dalam program pengampunan pajak.
Ani mengungkapkan, pihaknya akan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk memberikan petunjuk teknis atas penerbitan Perppu tersebut.
Dia menyebutkan beberapa hal yang akan diatur dalam PMK itu. Di antaranya meliputi penjelasan mengenai objek yang harus dilaporkan sesuai Common Reporting Standards (CRS), penjelasan prosedur identifikasi data keuangan yang sesuai CRS, penjelasan pihak yang harus melaporkan, penjelasan mengenai kerahasiaan data Wajib Pajak (WP), dan mekanisme pengenaan sanksi atas pihak yang melanggar kewajiban melapor.
Ani berharap, dewan mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mengimplementasikan pelaksanaan pertukaran data untuk keperluan AeoI.
“Jika Indonesia gagal mengambil langkah tepat dan cepat untuk memenuhi legislasi tersebut, nanti merugikan Indonesia sendiri,” ingatnya.
Ragukan Perppu
Anggota Komisi XI DPR Sarmuji meragukan Perppu ini bisa menjaring potensi harta WNI yang diungkap oleh Menkeu. Pasalnya, data yang dipaparkan Sri Mulyani menggunakan data potensi harta WNI di luar negeri tahun 2014. Sedangkan pada pembahasan UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menjadi landasan hukum pelaksanaan tax amnesty, pemerintah sempat menyebutkan bahwa potensi harta WNI mencapai kisaran Rp 11 triliun.
“Apa kira-kira Direktorat Jenderal Pajak memiliki data di luar data McKinsey tersebut? Karena dulu disebutkan ada (potensi harta) mencapai Rp 11 triliun. Nah, itu menyusut hanya sekitar Rp 3 triliun?” katanya.
Sarmuji juga mempertanyakan Menkeu terkait prinsip resiprokal atau timbal balik yang menjadi landasan pelaksanaan pertukaran informasi dengan negara yang ingin diketahui data keuangan nasabah perbankannya.
“Masalahnya, apakah negara tax haven itu sudah melakukan hal yang sama dengan Indonesia (untuk melaksanakan AEoI)? Kalau tidak, hal yang kita lakukan itu percuma karena kita tidak dapat informasi dari orang-orang di Singapura dan lainnya. Kalau belum, efektivitas Perppu ini menjadi berkurang,” cetusnya.
Sumber : rmol.co
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar