Di negara demokrasi, pajak tidak kalah penting jika dibandingkan dengan politik representasi. Ia tak kalah krusial dibanding urusan elektoral: memilih dan dipilih dalam pemilu. Dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, kedudukan taxpayer atau pembayar pajak (di negeri kita lazim disebut wajib pajak) bahkan menjadi barisan dari apa yang disebut sebagai konstituen.
Yang disebut rakyat adalah ya si pembayar pajak. Memilih ataupun tidak memilih dalam pemilu. Perdebatan apa pun di parlemen semestinya memperhatikan kepentingan pembayar pajak. Pembahasan apa pun di kabinet seharusnya mengindahkan keinginan taxpayer.
Sebab, dari pajaklah pemerintahan ini bisa tegak. Dari pajaklah ongkos para aparatur dibiayai. Mulai gaji, ongkos bepergian, biaya menginap di hotel, hingga tas tak penting yang biasa digunakan para pegawai negeri saat konsinyering di luar kota.
Maka, ketika pemerintah mewajibkan lembaga keuangan melaporkan secara otomatis dana nasabah yang memiliki saldo di atas Rp 200 juta, itu merupakan kebijakan yang tak terelakkan. Memang sudah saatnya siapa pun yang terikat kewajiban perpajakan harus menunaikan kewajibannya. Dengan demikian, hakikat pembayar pajak sebagai bagian penting demokrasi menjadi terpenuhi.
Sebab, selama ini kita memang masih belum mendekati hakikat itu. Mayoritas setoran pajak di APBN didominasi perusahaan-perusahaan yang masuk dalam LTO (large taxpayer office) atau wajib pajak besar. Sebagiannya adalah BUMN. Di negara demokrasi yang maju, sebaran pembayar pajaknya mesti lebih luas. Tidak hanya didominasi setoran dari perusahaan-perusahaan raksasa.
Tentu saja akses luar biasa bagi aparat pajak terhadap data nasabah lembaga keuangan, terutama perbankan, itu harus dibarengi reformasi yang konsisten di bidang pajak. Tak boleh lagi ada cerita aparat pajak yang memeras. Memalukan jika masih ada kisah kongkalikong.
Dan muara dari itu semua adalah belanja yang tepat di sisi aparatur. Gunakanlah uang pajak untuk sektor-sektor yang produktif. Perbanyaklah untuk membangun dan memperbaiki infrastruktur. Kurangi belanja-belanja tak penting dari aparatur negara.
Ingat, badan usaha sudah jungkir balik untuk mendapatkan untung yang 25 persennya disetorkan ke pajak. Demikian pula para pekerja keras yang gajinya dipotong untuk pajak. Akan sangat menyedihkan apabila hasil jerih payah itu hanya digunakan untuk membeli tas tak penting sebagai tempat makalah yang biasa dibagikan kepada pegawai negeri yang mengikuti pelatihan di luar kota.
Sumber : jawapos.com, Rabu, 07 Jun 2017
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar