
Keberlakuan tax amnesty melalui UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah berakhir pada 31 Maret 2017. UU yang hanya berlaku selama 9 bulan sejak 1 Juli 2016 itu memberi sinyal positif keberhasilan tax amnesty bagi negara, yang memperoleh tambahan penerimaan guna mengisi kas APBN. Nilai uang tebusan sebesar Rp 114 triliun atau 69% dari target Rp 165 triliun cukup memberi keyakinan indikasi positif berlakunya tax amnesty. Setidaknya kelanjutan proses pembangunan yang dibutuhkan rakyat dapat dipenuhi.
Pungutan pajak dengan landasan berbagai UU pajak serta keberlakuan UU tax amnesty kesemuanya menjadi cara bagaimana negara memperoleh dana untuk berbagai macam kebutuhan masyarakat, tentunya melalui tingkat kepatuhan lebih tinggi.
Keberlangsungan kegiatan pembangunan hanya dapat dipenuhi bila negara punya uang/dana dari pajak. Tanpa itu sia-sia segala rencana yang sudah dibuat.
Guna memenuhi kebutuhan masyarakat, mau tidak mau langkah berpijak pemerintah mesti ditujukan supaya wajib pajak patuh. Kepatuhan menjadi syarat terpenuhinya target pajak dalam APBN. Dalam konteks itu, Rochmat Soemitro (1998: 14) menekankan kalau kepatuhan terletak pada empat titik berat, yakni; kesadaran pajak/tax consciousness, (ii) kejujuran/honesty, (iii) hasrat bayar pajak/tax mindedness, dan (iv) disiplin pajak/tax discipline.
Di sisi lain Nguyen Tien Thuc (2013: 477) merinci 5 faktor kepatuhan pada: faktor industri (competition, profit margins, dan industry risk), faktor accounting (tax knowledge, accounting knowledge), faktor psychosocial (public spending, perceived fairness), faktor tax administration (law enforcement, penalties, public services), dan faktor ekonomi (tax rate, interest rate, inflation).
Sejalan dengan itu, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 6 tahun 1983 yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2009 pun menekankan cara pemeriksaan pajak ditujukan supaya wajib pajak patuh. Dengan kata lain, langkah pemeriksaan menjadi tahapan penegakan hukum (law enforcement) supaya terjadi peningkatan kepatuhan.
Konsep Pungutan Pajak
Legalitas pungutan pajak sudah digariskan dalam Pasal 23A UUD 1945, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan UU”. Dengan landasan ini diterbitkan seperangkat UU perpajakan (UU PPh, UU PPN, UU KUP, UU PBB, UU BPHTB, UU Bea Meterai, UU Penagihan Pajak, UU PDRD serta UU Pengampunan Pajak). Tanpa UU, negara tidak bisa pungut pajak.
Kesemua UU (kecuali UU Pengampunan Pajak atau tax amnesty) memberi hak kepada Negara untuk pungut pajak dengan sifat paksa. Hak dalam konsep hokum merupakan hak atas perbuatan orang lain, atas perbuatan yang menurut hukum merupakan kewajiban dari orang lain. Hak dalam hokum mensyaratkan kewajiban hokum orang lain. Pajak yang merupakan hak negara mengartikan adanya kewajiban atau mensyaratkan orang lain melakukan pembayaran pajak.
Jika tuntutan hak tidak dilakukan pihak lain, negara sebagai pemilik hak akan menggunakan alat/senjata dengan sifat paksa. Lain halnya dengan UU Pengampunan Pajak, sifat paksa menjadi tidak memiliki makna hukum ketika wajib pajak menjalankan kewajiban pajak atas dasar UU tax amnesty.
Artinya, tindakan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan terhadap pidana pajak seakan ‘lumpuh’ dengan hadirnya tax amnesty. Potensi pajak dari tindakan-tindakan tersebut digantikan dengan uang tebusan dari tax amnesty. Dari sisi penerimaan, tax amnesty memberi cara Negara mendapatkan dana dengan nama uang tebusan.
Pada tataran filosofis, norma pengampunan dalam UU merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis, yakni norma sebagai kenyataan- kenyataan sosial yang dinamis (Bernard L. Tanya, 2010). Dalam tataran sosiologis norma tax amnesty merupakan sisi hukum yang condong melihat persoalan pada sisi sosiologis sebagai satu kepentingan masyarakat yang mesti dituruti. Hal itu berkaitan dengan penekanan kata ‘kesadaran’ dan ‘kepatuhan’ serta domain makna kata ‘harta’ dalam UU Pengampunan Pajak yang menjadi pokok pengaturan tax amnesty.
Artinya, UU tax amnesty hendak menegaskan kenyataan sosiologis yang perlu diatur dalam UU. Bahkan terkait dengan itu, sisi hukum lain UU tax amnesty berpedoman pada pandangan hokum ahli Radbruch (1878-1949) pada tiga aspek yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Makna kemanfaatan tidak melulu ditilik pada angka penerimaan uang tebusan tetapi dapat ditilik pada tujuan jangka panjang pada perbaikan dan perluasan basis data pajak.
Keterbukaan Informasi
Keberhasilan pemeriksaan bukan semata menjadi dasar keberhasilan penerimaan. Pembaruan sistem keterbukaan informasi menjadi cara tersendiri yang mesti dijalankan untuk keberhasilan penerimaan pajak yang salah satunya dengan melakukan Automatic Exchange of Information dari berbagai negara.
Peningkatan kepatuhan wajib pajak tanpa melakukan pemeriksaan dikehendaki semua pihak dengan keterlibatan aktif melakukan pertukaran data untuk kepentingan perpajakan. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan (mulai berlaku 8 Mei 2017) menjadi cara pemerintah mengakomodasii kepentingan perpajakan Indonesia di mata dunia.
Perpu diterbitkan karena adanya keterbatasan akses bagi otoritas pajak memperoleh informasi yang diatur dalam UU perbankan, perbankan syariah, pasar modal serta perundang-undangan lainnya. Keterbatasan akses itu yang mengakibatkan kendala otoritas pajak dalam penguatan basis data pajak untuk pemenuhan kebutuhan penerimaan pajak. Misalnya perubahan UU Perbankan guna mengikat semua pihak, khususnya perubahan atas Pasal 40 dan 41 dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 mengenai Rahasia Bank.
Contoh itu menunjukkan kalau otoritas pajak tidak mampu menembus data wajib pajak yang tersimpan di bank karena ada sistem kerahasiaan bank. Dengan Perpu di atas, dapat ditembus dan menjadikan otoritas pajak dapat menjalankan tugas dengan lebih kuat karena data dapat diakses dengan cepat tanpa terkendalan pada sifat kerahasiaan bank.
Pembaruan sistem itu yang amat diperlukan agar kebutuhan penerimaan pajak terpenuhi sesuai praktik perpajakan internasional. Pembaruan sistem perpajakan melalui perpu di atas menunjukkan kepastian hukum semua pihak. Jika aturan itu tidak dijalankan, Indonesia dinyatakan sebagai negara gagal memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis dan menurunkan kredibilitas di dunia internasional. Indonesia sebagai anggota negara G20 patut mengikuti komitmen bersama yang sudah dilakukan.
Dalam amatan penulis, lazimnya pemilik uang menyimpannya di berbagai lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lainnya atau entitas lain. Jika keterbukaakn informasi di semua lembaga tersebut dijalankan, bukan tidak mungkin kebutuhan penerimaan pajak menjadi lebih adil dan berkepastian.
Ini menunjukkan keseriusan pemerintah memperkuat otoritas pajak melakukan upaya optimalisasi penerimaan atas dasar data keuangan lebih valid dari pihak lain. Dari uraian di atas, tiga hal penulis simpulkan. Pertama, pasca berakhirnya tax amnesty, pajak tetap menjadi harapan serta tumpuan dalam memberikan keadilan dan kesejahteraan yang menjadi kesepakatan bersama untuk dijalankan dengan benar. Pungutan pajak atas dasar UU menjadi legalitas bagi otoritas pajak sehingga kebutuhan penerimaan untuk berbagai kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi.
Kedua, penegakan hukum melalui langkah pemeriksaan menjadi satu cara menguji kepatuhan bagi wajib pajak yang belum patuh. Pasca berakhirnya tax amnesty, kebijakan pemeriksaan pajak dikembalikan kepada aturan UU KUP yang ditujukan untuk menguji kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya (Pasal 29).
Ketiga, bahwa keberhasilan penerimaan pajak dipengaruhi juga oleh keterbukaan informasi dari lembaga keuangan lain sebagai tempat menyimpan dana masyarakat yang mungkin saja belum dipenuhi kewajiban pajak atas dana yang disimpan dimaksud. Oleh karenanya dibutuhkan legalitas untuk memberi kepastian serta keadilan dalam pungutan pajak melalui keterbukaan informasi.
Sumber: beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar