Tren peningkatan e-commerce (ekonomi berbasis elektronik) di tanah air harus diiringi dengan perubahan komposisi asal produk yang diperjualbelikan. Pasalnya, hingga saat ini meski ekonomi berbasis elektronik terus mengalami peningkatan ternyata produk yang dijual masih didominasi barang impor sehingga dikhawatirkan tidak memberikan dampak yang lebih positif bagi perkembangan perekonomian nasional.
Mohamad Rosihan Head of Retail Education Division Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) menuturkan pihaknya semaksimal mungkin mendorong pelaku usaha kecil mikro (UKM) menjadi Industri Kecil Mikro (IKM) yang berproduksi. Alasannya, dengan menjadi produsen maka dampak terhadap perekonomian akan lebih besar.
“Perkembangannya saat ini sudah mulai produksi. Ke depan, di e-commerce platform ini diusahakan produk lokal yang paling banyak. Seperti itulah negara lain, dengan berbasis digital bisa membawa produk lokal mereka ke negara lain. Misalnya Thailand, yang barang impor itu hanya 25 persen. Sedangkan di Indonesia saat ini, masih terbalik. Sebagian besar bukan produk lokal. Makanya yang penting bagaimana membalikkan kondisi tersebut,” katanya yang ditemui di Kenduri Nasional e-UKM, di Bandung, Rabu 30 Agustus 2017.
Bandung, menurut dia, salah satu contoh yang baik karena dari banyak UKM yang meramaikan ekonomi berbasis digital, mayoritas merupakan produsen dan memproduksi barang sendiri. Tidak sekadar menjual barang, khususnya impor.
“Bagaimana mendorong UKM kita masuk dengan produk lokal dan mendominasi platform e-commerce kita. Kalau hanya jadi pasar otomatis pendapatan masyarakat akan menjadi rendah itu akan berdampak negatif pada platform itu sendiri. Tetapi, jika produk lokal yang dijual, sehingga membuka lapangan kerja, masyarakat memiliki penghasilan dan daya beli itu akan kembali kepada perkembangan bagi platform tersebut,” katanya.
Laju migrasi ke e-commerce
Ekonomi berbasis elektronik semakin berkembang di Indonesia. Potensi ekonominya besar dan menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Data transaksi digital Indonesia tumbuh pesat dalam 5 tahun terakhir. Menurut Data dari eMarketer, transaksi e-commerce Indonesia mencapai Rp 25,1 triliun pada 2014 dan naik menjadi sekitar Rp 69,8 triliun pada 2016. Dalam dua tahun pertumbuhannya mencapai 179%.
Startup di Indonesia juga tumbuh pesat. Menurut data riset Google-Temasek (2016) jumlah starup di Indonesia berjumlah 2.033 atau sekitar 29% dari total startup di Asia Tenggara. Jumlah tersebut lebih banyak dari Singapura yang berada di peringkat kedua dengan 1.850 startup. Hal ini menunjukkan potensi e-commerce di Indonesia luar biasa besar.
Sementara itu, disinggung mengenai adanya pergeseran pola belanja masyarakat dari konvensional ke online, Rosihan menuturkan transaksi online melalui platform formal baru sekitar 2 persen. Sedangkan yang melalui informal, seperti media sosial diperkirakan lebih besar sekitar 7 persen. Sehingga, kata dia, belum ada pergeseran yang cukup besar.
“Tetapi jika kita berbicara mengenai rantai distribusi, ekonomi berbasis digital ini mampu mempersingkat rantai distribusi sehingga masyarakat bisa mendapatkan harga yang lebih rendah. Hal ini tentunya akan memengaruhi pola berbisnis, yang saat ini terus mencari bentuk hingga 5-10 tahun ke depan,” ujarnya.
Kenduri e-UKM merupakan salah satu program idEA yang mempunyai visi menjadikan Indonesia sebagai negara berbasis ekonomi digital melalui kemitraan dengan para partner di Tanah Air. Program ini diharapkan turut mewujudkan pertumbuhan e- commerce Indonesia. Bandung menjadi kota ketiga tuan rumah Kenduri e-UKM. Sebelumnya, Kenduri e-UKM digelar di Yogyakarta dan Makassar. Setelah Bandung, akan ada delapan kota lain yang akan menjadi tuan rumah Kenduri e-UKM yaitu Surabaya, Balikpapan, Semarang, Medan, Pontianak, Palembang, Denpasar, dan Solo.
Sumber : pikiran-rakyat.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar