Masih Mahal, Pupuk Indonesia Minta Harga Gas Turun Lagi

Masih Mahal, Pupuk Indonesia Minta Harga Gas Turun Lagi

PT Pupuk Indonesia (Persero) meminta pemerintah kembali menurunkan harga gas untuk industri, khususnya industri pupuk. Pasalnya, saat ini harga gas di Indonesia yang ditetapkan pemerintah sebesar USD6 per MMBTU masih dianggap terlalu mahal.

Direktur Utama Pupuk Indonesia Aas Asikin Idat mengungkapkan, saat ini produksi pupuk dunia sudah berlebihan (over supply) dengan jumlah produksi 240 juta ton. Padahal, pemakaiannya hanya sekitar 180 juta ton.

Dengan berlebihnya pasokan pupuk di dunia, maka yang akan mendapatkan tempat adalah produsen-produsen pupuk yang ongkosnya rendah. Sayangnya, harga gas di Indonesia yang tinggi membuat ongkos pembuatan pupuk di Tanah Air pun relatif tinggi.

“Kita bicara suplai dunia saat ini 240 juta, sedangkan pemakaian dunia hanya 180 juta. Jadi sudah over supply. Ini betul-betul sangat bertanding, siapa yang bisa masuk ke pasar 180 juta adalah yang perusahaan baik dan biayanya rendah. Permasalahan di Indonesia, harga gas untuk pembuatan pupuk itu relatif tinggi. Bahkan kita tertinggi,” katanya dalam acara bincang santai di Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (16/10/2017).

Dia menyebutkan, harga gas yang diperoleh produsen pupuk di negara lain rata-rata sekitar USD1 hingga USD3 per MMBTU. Sedangkan di Indonesia, harga gas mencapai USD6 per MMBTU. Padahal, gas mencakup 70% dari komponen biaya yang harus dikeluarkan perseroan.

Aas menginginkan agar harga gas bisa turun hingga USD3, seperti yang berlaku di beberapa negara di dunia. “Sekarang di dunia itu turun, harga pupuk juga turun yang tadinya sekitar USD350-USD400, sekarang di USD200. Untuk perusahaan di luar negeri, dengan turunnya harga itu membuat mereka tidak merugi. Karena diikuti dengan penurunan harga gas. Kalau di Indonesia, harga internasional turun tapi harga kita tetap. Berat buat kita bersaing,” keluh dia.

Ditambah lagi, pabrik pupuk yang ada di Indonesia banyak yang sudah berumur sehingga pemakaian gas cenderung lebih boros. Sementara pesaing banyak yang memiliki pabrik baru dengan tingkat pemakaian gas yang lebih efisien.

“Di kita itu, pemakaian gas sekitar 30 MMBTU per ton. Umurnya sudah tua. Harga gas mahal, konsumsi gasnya cukup tinggi. Ini yang jadi permasalahan kita. Sedangkan di luar, sudah harga gasnya murah pabriknya juga baru,” tuturnya.

Deputi Bidang Usaha Industri Agro dan Farmasi Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro menambahkan, konsumsi gas pabrik pupuk yang dimiliki Pupuk Indonesia sangatlah boros. Padahal, pabrik baru biasanya konsumsinya sekitar 24 MMBTU per ton.

“Nah, rata-rata konsumsi gas cukup boros kalau tidak salah di kisaran 29-30 MMBTU per ton. Pabrik baru itu di rata-rata 24 MMBTU. Jadi konsumsi gas yang boros dasn harga gas yang tinggi,” ungkapnya.

Selain itu, pola penyaluran gas pun sebagian besar menggunakan pola take or pay. Jadi, meskipun gas tersebut tidak digunakan perseroan tetap harus membayar.

“Model supply gas itu sebagian besar take or pay. Keinginan untuk CnC, teman-teman sudah buat kajian kalau harga gas tetap USD6 per MMBTU, padahal keekonomiannya USD4 per MMBTU. Gas itu take or pay, jadi dipakai atau tidak harus dibayar,” tandasnya.

Sumber : sindonews.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar