Ketika negeri ini membutuhkan lebih banyak industri manufaktur berdiri guna menyerap banyak tenaga kerja, satu demi satu pabrik justru gulung tikar. Ada yang bangkrut karena kesulitan bahan baku, tidak mampu membayar upah tenaga kerja, dan ada yang tak sanggup lagi menahan beban biaya produksi.
Salah satu faktor biaya produksi yang kini banyak makan korban adalah harga gas yang terlalu mahal. Saat ini terdapat 45 pabrik industri manufaktur yang tutup gara-gara mahalnya harga gas. Itu terdiri atas 36 merupakan pabrik sarung tangan karet, delapan pabrik keramik, dan satu pabrik kaca lembaran.
Tingginya harga gas telah menggerus daya saing industri nasional. Akibatnya, industri lokal kalah bersaing saat bertarung dengan barang impor di pasar domestik. Kejadian ini terus berlangsung. Industri yang tak sanggup lagi memikul beban akhirnya mesti memangkas produksi atau bahkan menutup pabrik.
Itulah sebabnya, industri pengguna gas meminta pemerintah segera menurunkan harga gas industri dari rata-rata US$ 8-9 per mmbtu menjadi US$ 6 per mmbtu. Khusus industri petrokimia, harga gas untuk bahan baku idealnya mencapai US$ 3 per mmbtu. Penurunan ini sudah tak dapat ditawar lagi, mengingat sudah banyak perusahaan yang menutup pabrik. Apalagi, pemerintah telah menjanjikan penurunan harga gas sebagaimana diatur dalam Paket Kebijakan Ekonomi II yang dirilis Oktober 2015.
Sejauh ini, penurunan harga gas baru dinikmati oleh tiga sektor industri, yakni petrokimia, baja, dan pupuk. Insentif ini pun baru bisa dirasakan oleh perusahaan kelompok badan usaha milik negara (BUMN). Industri petrokimia saat ini tidak mampu bersaing dengan industri sejenis dari negara tetangga. Bandingkan industri petrokimia domestik saat ini mendapatkan harga gas US$ 9,2-9,4 per mmbtu, sementara negara pesaing hanya sekitar separuhnya. Imbasnya, banyak industri petrokimia hilir yang lebih memilih bahan baku impor, sehingga produk dalam negeri tidak terserap dan industri terancam bangkrut.
Nasib serupa juga dialami para pelaku industri kaca dan keramik. Industri kaca membeli gas dengan harga US$ 8-9 per mmbtu, sedangkan harga gas di negara anggota ASEAN lainnya cuma US$ 5/mmbtu. Padahal, setidaknya 25 persen biaya produksi industri kaca berasal dari gas. Kondisi itulah yang menjadi salah satu penyebab turunnya kapasitas produksi terpasang industri kaca lembaran nasional sebesar 16 persen.
Industri keramik juga setali tiga uang, karena dibebani dengan harga has berkisar US$ 8-9 per mmbtu. Padahal, pemerintah pernah berjanji menurunkan harga gas pada kisaran US$ 6 per mmbtu. Tetapi, hingga kini janji tersebut tak kunjung terealisasi.
Saat ini, ada sekitar 80 perusahaan swasta dari kelompok industri baja, petrokimia, sarung tangan karet, pulp dan kertas, makanan dan minuman, keramik, serta kaca lembaran yang sangat menantikan penurunan harga gas. Apalagi mereka juga harus menanggung beban tarif listrik yang semakin mahal.
Pemerintah harus segera turun tangan mengatasi harga gas. Persoalan ini berlarut-larut karena sering terjadi ketidakcocokan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian ESDM pada level berapa harga gas diturunkan. Ini tidak boleh terjadi, karena hanya akan semakin menelan korban. Bukankah jika tidak terjadi kesepakatan dua kementerian itu, masalah diputuskan di level Kementerian Koordinator Perekonomian?
Apalagi instruksi untuk menurunkan harga gas bagi industri sudah diatur melalui peraturan presiden, sebagai tindak lanjut amanat Paket Kebijakan Ekonomi II Oktober 2015. Inilah salah satu bukti dan contoh kurang implementatifnya paket-paket kebijakan ekonomi yang selama ini dikeluhkan dunia usaha.
Kelambanan pemerintah menurunkan harga gas bukan hanya menggerus daya saing industri manufaktur, yang dapat berujung ke penutupan pabrik, tetapi juga menghambat masuknya investasi ke sektor-sektor yang terbebani harga gas tersebut. Sekarang pilihan ada di pemerintah, membiarkan industri tertentu bangkrut, sementara di sisi lain kita masih sangat membutuhkan industri manufaktur untuk menyerap banyak tenaga kerja.
Indonesia juga sedang berjuang memperbaiki struktur industri yang masih keropos, terutama di industri hulu dan industri antara. Jangan sampai hanya gara-gara terbentur harga gas, banyak industri tenggelam sehingga impor produk manufaktur bakal kian deras. Kondisi itu hanya akan memperburuk defisit transaksi berjalan yang menjadi ancaman terbesar perekonomian nasional.
Sumber : beritasatu.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi

Tinggalkan komentar