Harga Gas Membubung, Industri Limbung

Harga gas yang tidak kunjung turun masih menjadi bahan curcol para pelaku industri tanah air. Ditambah lagi, setiap daerah menerapkan harga gas masing-masing dan tidak seragam. Kondisi ini semakin menyulitkan sektor industri.

Dyah Winarni Poedjiwati Staf Ahli Menteri Bidang Sumber Daya Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, tingginya harga gas terjadi karena setiap daerah memiliki mekanisme tender yang berbeda dan tidak pernah diatur. “Pungutan tambahan itu kami lihat masih banyak,” kata Dyah, Selasa (17/10).

Menurut Dyah, setiap industri membutuhkan gas yang murah, supaya memiliki daya saing dengan negara lain. Selain itu, industri juga perlu dukungan menekan biaya energi setinggi mungkin.

Dari beberapa sektor industri manufaktur tanah air yang menggantungkan sumber energinya dari gas, Dyah bilang yang paling terpukul terkena dampaknya ialah industri keramik, kaca dan sarung tangan.

Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan, pihaknya menunggu janji pemerintah yang akan menurunkan harga gas untuk menekan ongkos produksi yang semakin tinggi.

Seperti diketahui, Pemerintah telah mengeluarkan Instruksi Presiden tanggal 4 Oktober 2016 yang menetapkan harga gas untuk industri sebesar US$ 5-US$ 6 per MMBTU. Kenyataan sampai sekarang harga itu belum terealisasi.

Akibat persoalan yang berlarut-larut ini, beberapa perusahaan menutup atau mengurangi produksinya. “Harga gas tinggi telah memakan korban satu pabrik kaca terbesar di Indonesia (PT Tossa Shakti),” kata Yustinus.

Di industri kaca, harga gas sangat menentukan efisiensi. Energi menyumbang sekitar 25% dari total biaya produksi. Yustinus menambahkan, dengan berhentinya satu pabrik PT Tossa Shankti di Jawa Tengah, kapasitas produksi kaca nasional turun menjadi 1,2 juta ton per tahun dari sebelumnya sekitar 1,5 juta ton per tahun.

Presiden Direktur PT Puri Kemenangan Jaya Jusmery Chandra mengatakan, sudah ada delapan pabrik keramik atau 20% dari seluruh pabrik keramik di Indonesia yang tutup. Salah satu pemicu adalah harga gas mahal.

Harga gas memiliki porsi sebesar 35%-40% dari total biaya produksi keramik. Dengan tingginya biaya membeli gas, perusahaan keramik yang masih beroperasi tidak bisa mendapatkan untung. “Jadi begitu utilisasi antara 60%-70% pasti rugi. Rugi dua tiga bulan oke masih bisa di cover, tapi kalau sampai setahun ujung-ujungnya kebangkrutan,” kata Jusmery.

Sumber: Harian Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar