Lesu kok harus ketat

Indonesia memerlukan peluru yang banyak agar bisa memutar roda pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Sebab terbukti dengan alokasi dana yang besar dari anggaran pendapatan den belanja negara (APBN) dalam tiga tahun terakhir belum mampu memberikan efek daya ungkit bagi pertumbuhan.

Salah satu peluru yang diharapkan adalah dengan pelonggaran kebijakan moneter seperti memangkas suku bunga acuan agar perbankan mulai menurunkan suku bunga kredit. Dengan cara ini kredit-kredit konsumtif, konstruksi hingga investasi akan kembali bergairah.

Nah porsi menekan bunga kredit ini pemerintah tak bisa kerja sendiri. Sebab otoritas moneter ada di Bank Indonesia yang independen. Pemerintah hanya bisa menekan laju inflasi agar memberi ruang bagi penurunan suku bunga.

Dalam wawancara dengan Bloomberg Presiden Joko Widodo menyatakan, “Sebagai seorang mantan pengusaha, saya senang saat suku bunga kredit turun. Semua pengusaha juga akan senang saat bunga turun, turun, turun,” katanya.

Pemerintah optimistis hingga akhir tahun ini laju inflasi bisa di tekan di bawah 4%. Sebab per September inflasi masih terjaga di level 3,75%. Angka yang jauh lebih rendah ketimbang rata-rata inflasi tiga tahun lalu di kisaran 8%.

BI sejatinya paham perlu respon kebijakan moneter longgar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Misalnya bunga acuan BI 7-Day Repo Rate sudah turun 50 basis poin menjadi 4,25% tahun ini. Gubernur BI Agus Martowardojo pun diplomatis masih menunggu gambaran prospek ekonomi ke depan untuk menentukan kebijakan lanjutan.

Langkah BI melonggarkan kebijakan moneter pasti meresahkan bagi pemilik duit. Sebab duit yang sebelumnya ongkang-ongkan di portofolio investasi keuangan seperti saham, surat utang, atau instrumen lain termasuk tabungan, bakal mendapatkan imbalan mini.

Karenanya, wajar jika lembaga pemeringkat utang sekelas Moodys Investor Services pun khawatir kalau BI mengikuti irama pemerintah dengan memangkas bunga acuan lagi. Alarm menakutkan adalah investor akan lari ke Amerika Serikat yang memangkas pajak perusahaan. Selain itu, ada kekhawatiran duit yang akan kelabakan mencari kerajang baru investasi. Bisa jadi masuk arena spekulasi seperti di pasar valuta asing, dan lain-lain.

Pertanyaanya, apakah pertimbangan Gubernur Bank Sentral terbaik se Asia Pasifik lebih mementingkan pemilik duit atau rakyat?

Sumber : kontan.co.id

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar