
Sumber pendapatan asli daerah (PAD) Pemprov Kaltim bakal berkurang. Mengingat Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review (JR) UU 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Situasi itu kian menyulitkan daerah yang tengah minim anggaran.
Penyebabnya, alat berat seperti buldoser, ekskavator, traktor, dan dump truck tidak dapat dikenakan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Apalagi, rata-rata PAD dari sektor itu mencapai Rp 33 miliar per tahun.
Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi mengatakan, tentu akan ada dampak yang ditimbulkan. Menurut dia, mestinya MA saat memutus JR melihat dua sisi. “Yakni sisi pemerintah dan pengusaha,” ujar dia.
Dari pemerintah alat berat menjadi sumber PAD melalui pajak. Sementara dari sisi pengusaha melihat hal tersebut sebagai tambahan biaya. Jadi, menurut dia, ini adalah masalah kesadaran pajak secara nasional. Tak hanya Kaltim yang akan terkena dampaknya. Tak seluruh Indonesia.
Dai meneruskan, alat berat dalam hal ini digunakan sebagai alat produksi. Dalam kasus di Kaltim untuk keperluan eksploitasi sumber daya alam (SDA). “Baik hutan, batu bara, maupun galian lainnya,” tuturnya.
Aji tak bisa membayangkan jika di seluruh Indonesia alat berat tak masuk pajak. Dan para pengusaha kemudian membeli secara besar-besaran. Tentu saja setelahnya berdampak ke lingkungan. Selain berkurangnya pendapatan daerah, dampak lingkungan menghantui.
Mestinya, kata dia, MK menyadari persoalan tersebut secara komprehensif. Namun, dengan adanya putusan itu, maka wajib dilaksanakan. Pasalnya, putusan tersebut bersifat wajib dan mengikat secara hukum. “Tapi yang mesti ditekankan saat ini, hakim MK bukan yang mahabenar,” tuturnya. Mereka juga memiliki keterbatasan pemahaman. Namun tetap harus dihormati, karena mereka ditunjuk oleh negara.
Lantaran keputusan sudah final, maka yang harus dilakukan daerah jangan hanya menerima dengan lapang dada. Pemerintah mesti mencari celah untuk mengenakan alat berat dengan pajak di luar kendaraan bermotor.
Ketua Pusat Kajian Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah, FEB Unmul itu yakin putusan MK tak membuat alat berat tidak boleh dikenakan pajak apapun. “Usaha konkret ini nantinya diharapkan bisa menambal terpangkasnya PAD,” ucapnya. Caranya, dengan membuat payung hukum seperti peraturan daerah (perda). Selain itu, mencari sumber atau potensi lain yang bisa mendatangkan PAD.
Sebelumnya, JR alias peninjauan kembali UU 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang diajukan tiga perusahaan dikabulkan MK. Adapun pasal yang diuji, yakni Pasal 1 Angka 13, Pasal 5 Ayat (2), Pasal 6 Ayat (4), dan Pasal 12 Ayat (2).
Di balik putusan tersebut, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kaltim Ismiati mengklaim, tren pembayaran pajak alat berat tetap positif. “Komunikasi yang baik antara kami dengan perusahaan, pembayaran pajak tetap saja,” ujarnya, kemarin.
Perusahaan, terang dia, tetap kooperatif membayar. Bahkan, ada yang baru membeli alat berat membayar hingga Rp 3 miliar. Padahal, ketika itu, gugatan di MK bergulir, namun perusahaan memenuhi kewajibannya.
Ismiati menjelaskan, ada 5.878 kendaraan alat berat di Kaltim yang menjadi objek pajak. Dari jumlah itu, yang membayar 91,2 persen atau 5.287 unit. Sisanya, terang dia, terus ditagih dengan melalui pendekatan. Realisasi penerimaan pajak atas alat berat mencapai Rp 33 miliar. “Rata-rata segitu,” pungkasnya.
Dia mengatakan, pemungutan pajak alat berat dilakukan secara official assessment. Tidak sama seperti pajak kendaraan bermotor. Pendaftaran dilakukan berdasarkan pendataan aktif oleh pemerintah daerah dan berdasarkan informasi wajib pajak. Perempuan berjilbab tersebut menginformasikan, tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) untuk alat berat, semula 0,5 persen. Tetapi turun menjadi 0,2 persen dari nilai kendaraan.
Sumber : prokal.co
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar