![]()
Kinerja penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (rasio pajak) setiap tahun terus tergerus.
Ditjen Pajak menuding rendahnya kepatuhan wajib pajak (WP) berpengaruh terhadap memburuknya situasi tersebut.
Jika menilik bahan grafik Kemenkeu, meski sempat menembus 11% pada 2013, secara simultan realisasi rasio pajak pusat selama empat tahun terakhir terus menurun.
Pada 2013 misalnya, kinerja penerimaan pajak terhadap PDB mencapai 11,3%, pada 2015 kinerjanya memburuk menjadi 10,8% dan terus turun pada 2016 menjadi 10,4%.
Anjloknya rasio pajak itu menempatkan Indonesia di bawah negara-negara lainnya. Malaysia misalnya, pada 2015 rasio penerimaan pajak terhadap PDB sebesar 14,3%, Thailand 16,5%, dan Australia 22,2%. Padahal, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) target rasio pajak 2016 adalah 14,2%, naik menjadi 14,6% pada 2017, dan ditargetkan pada 2019 sebesar 16%.
Adapun tahun ini, target rasio pajak pemerintah dipatok 10,8% atau tumbuh 0,4% dibanding tahun sebelumnya. Dengan kinerja penerimaan September yang masih Rp770,7 triliun atau 60% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017 senilai Rp1.283,6 triliun, pemerintah masih cukup optismis target tersebut bisa dicapai.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan ada beberapa persoalan yang perlu dipahami sebelum membandingkan rasio pajak Indonesia dengan negara lain. Salah satunya perbedaan komposisi dan cara menghitung rasio pajak.
Di Malaysia, kata dia, jaminan kesehatan menjadi salah satu variabel untuk mengukur rasio pajak. Sedangkan di Indonesia, jaminan kesehatan, pajak daerah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga penerimaan Bea dan Cukai tidak masuk dalam hitungan pemerintah. Artinya, komposisi yang dipakai mengukur rasio pajak pusat hanya penerimaan pajak penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
“Jadi tax ratio rendah karena komposisinya berbeda,” kata Ken akhir pekan lalu.
Situasi itu tentu akan berbeda jika memasukan sejumlah variabel tersebut ke dalam skema penghitungan rasio pajak pemerintah. Tahun lalu misalnya, dengan penambahan komposisi penerimaan dari sumber daya alam dan pajak daerah, rasio pajak Indonesia bisa mencapai 12,4%.
Persoalan lain adalah perbedaan penerapan baseline penghasilan tidak kena (PTKP) pajak di sebuah negara. Di Asia Tenggara, baseline PTKP Indonesia sebesar Rp54 juta hanya kalah dengan Vietnam yang garis batasnya sebesar Rp65,5 juta. Namun jika dibandingkan dengan Malaysia sebesar Rp28 juta, Thailand sebesar Rp23,5 juta, dan Filipina senilai Rp13 juta, garis batas PTKP Indonesia masih relatif tinggi.
Ken menjelaskan besarnya PTKP yang diterapkan pemerintah telah berpengaruh terhadap basis pajak dan penerimaan Ditjen Pajak selama beberapa waktu. Kenaikan PTKP tahun lalu misalnya, telah menggerus kepatuhan formal wajib pajak.
Sebagai perbandingan, pada 2016, jumlah wajib pajak yang wajib melaporkan surat pemberitahuan pajak (SPT) tahun pajak 2015 sebanyak 20,2 juta. Namun seiring perubahan kebijakan tersebut, pada 2017 jumlah WP yang wajib lapor SPT menyusut menjadi 16,6 juta.
Dalam paparannya awal bulan ini, Fasial Basri, ekonom Universitas Indonesia, mengungkapkan selama lima tahun terakhir rasio pajak cenderung turun. Bahkan pada 2016 apabila tidak ada pengampunan pajak, rasio pajak hanya 9,5%.
Roni Bako, pengamat pajak Universitas Pelita Harapan, tak menampik pernyataan Dirjen Pajak. Namun, menurutnya, hal itu bukan alasan yang tepat karena anjloknya rasio pajak disebabkan rendahnya kepatuhan wajib pajak.
“Hipotesis saya mereka tidak membayar pajak karena tingginya tarif pajak penghasilan [PPh] dan mekanismenya yang ribet.”
Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, melihat dari sisi konsistensi Ditjen Pajak untuk mencapai target dalam APBN. Rendahnya baseline PTKP, menurutnya, bukan problem utama dari jebloknya rasio pajak pemerintah.
Sumber : bisnis.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar