Utang Pemerintah

Pemerintah terus menarik utang untuk membiayai defisit anggaran yang tahun ini ditargetkan sebesar 2,92 persen dari PDB. Hingga akhir September 2017, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp 3.866,45 triliun. Dalam sebulan, utang ini naik Rp 40,66 triliun dibandingkan dengan jumlah pada Agustus 2017 yang sebesar Rp 3.825,79 triliun.

Pemerintah mau tidak mau harus menarik utang untuk menjalankan program-program kerjanya, karena penerimaan pajak sebagai sumber utama pendanaan pembangunan tidak mencukupi kebutuhan. Realisasi penerimaan pajak hingga 30 November 2017 telah mencapai Rp 1.001,2 triliun atau 78 persen dari target Rp 1.283,6 triliun. Penerimaan pajak hingga akhir 2017 diperkirakan hanya mencapai 90 persen dari target.

Kendati terus menarik utang, total utang Indonesia masih aman. Rasio total utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia sekitar 28 persen. Angka ini di bawah ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menetapkan batas utang negara tidak boleh lebih dari 60 persen PDB. Selain itu, mayoritas merupakan utang jangka panjang yang mencapai 28 persen dan 6 persen sisanya adalah utang jangka pendek. Dibandingkan dengan sejumlah negara, rasio utang Indonesia itu masih tergolong kecil. Contohnya utang Jepang yang tercatat di atas 200 persen dari PDB-nya dan Amerika Serikat (AS) lebih dari 100 persen dari PDB-nya.

Meningkatnya jumlah utang pemerintah sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan, asalkan digunakan untuk kegiatan produktif. Misalnya untuk membiayai infrastruktur dan investasi proyek-proyek strategis yang berdampak positif bagi perekonomian. Secara teoretis, utang yang banyak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur diyakini dapat menggenjot penerimaan pajak. Dengan terbangunnya infrastruktur, pada gilirannya akan membuat dunia usaha lebih maju dan berkembang sehingga kontribusi pajaknya pun bisa naik. Berbeda jika utang itu dipakai untuk kegiatan konsumtif, yang akan dihabiskan di masa sekarang dan akan menjadi beban pada masa mendatang.

Penggunaan utang untuk kegiatan produktif dapat dilakukan dengan menaikkan porsi belanja modal dan meningkatkan penyerapannya. Pada 2015 dan 2016, belanja modal masing-masing terserap sebesar 78 persen dan 80 persen. Itu artinya tidak seluruh belanja modal terserap, padahal pemerintah sudah terlanjur menarik utang. Penyerapan belanja modal yang maksimal akan memberikan efek pengganda yang lebih besar lagi bagi perekonomian.

Meski utang masih sehat, tetap diperlukan kehati-hatian dalam pengelolannya. Selain rasio terhadap PDB, yang juga perlu diperhatikan adalah posisi kewajiban cicilan utang dengan sejumlah variabel transaksi berjalan seperti penerimaan ekspor dan penerimaan primer. Jika kinerja ekspor terus melemah berpotensi meningkatkan rasio utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor (debt service ratio/DSR).

Pengelolaan utang yang baik juga memperhatikan berapa besaran utang, kapan berutang, kemampuan membayar cicilan dan pokok pinjaman, dan risiko nilai tukar. Juga perlu diperhatikan kesehatan dan sustainability fiskal nasional. Dengan tren pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dalam tiga tahun terakhir, hal itu menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi nasional tak setinggi yang diharapkan sehingga penerimaan pajak pun di bawah ekspektasi. Kondisi itu tentu akan memengaruhi kemampuan fiskal untuk membayar bunga dan cicilan utang.

Utang pemerintah saat ini memang tidak lagi memengaruhi kedaulatan negara, karena kebanyakan utang berasal dari instrumen surat berharga negara (SBN). Namun demikian, dari 80 persen utang pemerintah dalam bentuk SBN, 40 persen di antaranya dipegang asing sehingga rawan terjadinya arus dana keluar (capital outflow) yang bisa menekan rupiah jika ada shock besar terhadap perekonomian. Untuk menjaga dana asing tidak dengan mudah keluar Indonesia, pemerintah perlu mempertimbangkan pemberian insentif, khususnya bagi pemegang SBN, dan meningkatkan kemudahan berbisnis sehingga Indonesia makin menarik di mata investor asing.

Stabilitas politik juga perlu dijaga. Apalagi tahun depan ada 171 pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Semua partai politik maupun para calon kepala daerah yang berlaga di pilkada mesti menciptakan situasi politik tetap kondusif. Jangan mengusung isu SARA saat kampanye untuk menghindari konflik antarmassa pendukung calon kepala daerah. Pilkada serentak yang berlangsung aman dan damai akan meningkatkan kepercayaan para investor terhadap ekonomi Indonesia.

Sedangkan dari sisi eksternal, yang harus diwaspadai adalah kebijakan kenaikan suku bunga The Fed. Meski status layak investasi (investment grade) dari tiga lembaga pemeringkat internasional cukup menguatkan posisi Indonesia, kebijakan The Fed itu akan sulit dikontrol. Namun, sepanjang fundamental ekonomi kita kuat dan makin dipercaya investor, kita berharap risiko-risiko yang disebabkan faktor eksternal itu akan bisa diredam.

Sumber : beritasatu.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar