Mendongkrak Daya Beli

Isu penurunan daya beli boleh saja menjadi perdebatan. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah langkah konkret untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Turun atau tidak, daya beli masyarakat harus dinaikkan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Apalagi laju pertumbuhan ekonomi tahun 2017 masih mengandalkan konsumsi rumah tangga. Kelesuan penjualan berbagai produk dan penutupan gerai ritel perlu direspons dengan langkah konkret. Merespons dengan bantahan tidak menyelesaikan masalah.

Berbagai data menunjukkan, kenaikan penjualan produk otomotif, semen, rumah, dan barang tahan lama selama tahun 2017 tidak sebesar tahun sebelumnya. Angka penjualan yang menurun merupakan cerminan penurunan daya beli masyarakat.

Solusi perlu segera diambil agar pada tahun 2018, laju pertumbuhan ekonomi bisa menembus 5,4 persen dan membuka lapangan pekerjaan untuk menyerap 7,1 juta pengangguran terbuka dan sekitar 2,5 juta angkatan kerja baru.

Angka pengangguran saat ini diperkirakan membengkak. Banyak perusahaan yang mengurangi jam kerja karyawan. Sejumlah pengusaha terpaksa menutup perusahaannya. Pemerintah boleh saja menunjukkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai indikator kenaikan daya beli. Namun, angka ini tidak bisa sepenuhnya menggambarkan fakta mengingat impor Indonesia cukup besar. Barang impor juga terkena PPN.

Di tengah kekhawatiran penurunan daya beli, sebuah survei Bank Indonesia (BI) yang diumumkan pekan lalu cukup membangkitkan optimisme. Survei itu menunjukkan peningkatan optimisme konsumen pada November dibanding bulan sebelumnya. Persepsi konsumen terhadap penghasilan yang diterima semakin baik. Para responden juga memiliki ekspektasi positif terhadap penghasilan yang bakal mereka terima hingga tiga bulan ke depan. Selain itu, data menunjukkan kenaikan penjualan barang tahan lama.

Untuk mendongkrak daya beli masyarakat, sejumlah kebijakan pemerintah yang sudah tepat arah perlu diawasi dengan lebih ketat agar efektif. Pertama, dana desa sebesar Rp 60 triliun yang masuk ke 75.000 desa. Perlu sebuah mekanisme yang dapat memastikan tidak ada dana desa yang dikorupsi. Tahun depan desa masih sekitar Rp 750 juta per desa. Ke depan, dana desa akan dinaikkan hingga di atas Rp 1 miliar per desa.

Mulai digulirkan tahun 2015 sebesar Rp 20,7 triliun, alokasi APBN untuk dana desa terus meningkat. Dana desa tahun 2016 sebesar Rp 46,9 triliun dan pada 2017 sebesar Rp 60 triliun. Karena penyerapan dana desa tahun ini diperkirakan hanya 82 persen, pada tahun 2018 dana desa masih sebesar Rp 60 triliun. Jika ada penyerapan yang lebih baik, dana desa tahun 2019 bisa ditingkatkan satu setengah hingga dua kali.

Dana desa selama ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan desa dan jalan tani. Dengan jumlahnya yang besar dan terus meningkat, dana desa bisa digunakan untuk pembangunan air bersih, berbagai saluran, taman desa, dan dana bergulir untuk kegiatan produktif, seperti penggemukan sapi dan tanaman hortikultura. Pemerintah harus memastikan dana desa berputar di desa.

Rencana pemerintah untuk menggelar proyek padat karya mulai awal 2018 umumnya disambut positif. Proyek padat karya yang didukung Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan Kementerian Perhubungan ini ditargetkan mempekerjakan sedikitnya 200 orang di setiap desa. Proyek ini disebut “padat karya tunai” karena rakyat desa langsung mendapatkan uang tunai setelah bekerja.

Pemerintah diharapkan tidak melakukan pengetatan anggaran tahun depan. Belanja APBN 2018 sebesar Rp 2.221 triliun cukup besar untuk mendongkrak daya beli masyarakat jika dibelanjakan tepat waktu dan tepat jumlah. Dari jumlah itu, sekitar Rp 766 triliun adalah dana yang ditransfer ke daerah. Sisanya, Rp 847 triliun dana yang disalurkan lewat kementerian dan lembaga. Seperti kata Presiden Jokowi, penyaluran dana harus akuntabel, tapi tidak boleh rumit.

Untuk mengangkat daya beli rakyat, pemerintah perlu mendorong perkembangan sektor usaha padat karya dan memiliki multiplier effect tinggi, seperti tekstil dan garmen, alas kaki, berbagai industri pengolahan, industri elektronik, otomotif, berbagai barang konsumsi, dan properti. Pembangunan sektor properti terbukti menggerakkan 171 sektor lainnya. Sektor transportasi, perdagangan, dan berbagai jenis industri ikut terangkat. Penjualan ratusan mata barang akan meningkat akibat pembangunan properti.

Dengan jumlah penduduk 260 juta, Indonesia adalah pasar sangat potensial bagi berbagai produk konsumsi. Dalam 10 tahun terakhir, free trade agreement dengan RRT membalikkan keadaan. Neraca perdagangan kedua negara yang sebelumnya surplus bagi Indonesia, kini Indonesia harus menanggung defisit neraca perdagangan yang terus membesar. Bukan hanya produk industri yang diimpor dari RRT. Pasar tekstil, garmen, alas kaki, dan produk hortikultura kini dikuasai produk RRT.

Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih pada sektor usaha yang memberikan dampak positif terhadap kemajuan industri dan pertanian dalam negeri. Perlu kebijakan pemerintah yang mendorong pembelian produk lokal untuk menekan impor dan memacu ekonomi nasional. Program reformasi agraria harus dipercepat. Pemerintah perlu mempercepat sertifikasi tanah dan memastikan bahwa setiap petani memiliki lahan garapan.

Peningkatan daya beli masyarakat memerlukan kebijakan yang probisnis dan prousaha lokal serta pengawasan lapangan yang lebih ketat. Pembangunan infrastruktur yang cukup masif adalah kebijakan yang tepat. Namun, dalam jangka pendek ini, proyek padat karya, perbaikan kualitas birokrasi, kemudahan berusaha, dan pembangunan sektor usaha yang memiliki multiplier effecttinggi adalah solusi yang tidak boleh ditunda.

Sumber : beritasatu.com

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Ekonomi

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar