Nada suara Prijo Handojo meninggi di ujung sambungan telepon, Selasa (12/12). Dengan suara gamblang, ia terang-terangan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2018 itu. Kelak, beleid ini bakal menggantikan UU Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
“Pada dasarnya Apindo tidak setuju dengan RUU KUP Hal itu disampaikan secara lisan kepada DJP (Direktorat Jenderal Pajak),” kata Ketua Bidang Perpajakan Apindo ini.
Apindo menilai, rancangan beleid yang sekarang mulai di bahas di DPR itu sangat government-centered atau memihak kepentingan pemerintah. Jika melihat RUU KUP secara keseluruhan, memang banyak sekali perubahan yang terjadi.
Tak hanya soal skema keberatan, ada pula perbaikan di mekanisme pemeriksaan, subjek pajak dan sanksi. Nah, hampir semuanya di RUU memberatkan pengusaha atau WP.
Tak heran, kalau kalangan pengusaha menolak mentah mentah RUU yang saat ini masuk penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tersebut. Menurut Prijo, ada banyak sekali pasal yang memberatkan wajib pajak (WP). “Karena terlalu memberatkan, rancangan beleid pajak ini bisa membuat dunia usaha shock,” cetusnya.
Salah satu pasal yang memberatkan pembayar pajak adalah pasal 59. Dalam pasal tersebut, tercantum ketentuan yang memungkinkan fiskus melakukan pemeriksaan berulang di tahun pajak yang sama. “Ini membuat kepastian hukum jadi berkurang,” cetusnya, dengan nada kesal.
Prijo juga keberatan dengan kewajiban pembayaran pajak yang tidak bisa ditunda, meskipun pembayar pajak tengah mengajukan keberatan. Ketentuan ini tercantum di pasal 68 RUU KUP yang menyebut pengajuan keberatan tak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Adapun aturan saat ini, fiskus baru bisa menagih pajak pasca ada keputusan atas keberatan pajak. “Jelas dong, kami keberatan kok harus bayar dulu, padahal seperti kita ketahui Surat Ketetapan Pajak (SKP) pada umumnya masih sewenang-wenang,” ungkap Prijo .
Selain itu, Prijo mempersoalkan hukuman bagi pembayar pajak yang semakin berat, baik pidana maupun denda. Ketentuan soal bank ini diatur pasal 107 hingga 117.
Ambil contoh pasal 107, yang menyebut setiap orang yang tidak menyampaikan SPT atau salah mengisi SPT kena pidana penjara enam tahun . “Jelas kami keberatan sekali dengan bertambah beratnya sanksi pidana itu,” ujar Prijo.
Selain soal sanksi pidana pajak, pemerintah juga mengusulkan penambahan subjek pidana pajak. Jika dalam aturan yang berlaku saat ini, subjek pidana pajak hanya menyasar orang, maka nantinya pidana pajak akan menyasar orang dan badan atau korporasi.
Pemidanaan korporasi didasarkan bahwa wajib pajak badan tersebut mendapatkan manfaat atas tindakan pajak yang terjadi. RUU KUP memuat sanksi dan subjek pidana yang lebih banyak dan besar ini jelas membuat ketar ketir kalangan pengusaha.
Perkuat wewenang DJP
Bagi Prijo , jelas sekali RUU KUP ini disusun hanya untuk menambah kekuasaan DJP. Ke- khawatiran ini cukup beralasan. Mungkin Anda ingat langkah DJP belum lama ini, yang gencar melakukan penegakan hukum , dengan kerap menjatuhkan bukti permulaan (bukper), termasuk kepada WP yang menuntut pengembalian alias restitusi pajak.
Dalam dua bulan terakhir banyak WP yang dijerat dengan bukper. Bukper berarti pidana dan pidananya hilang jika bayar denda 150%. Kalangan dunia usaha menilai hukuman ini sangat memberatkan. “Dengan UU KUP sekarang saja sudah sewenang-wenang,” keluhnya.
Prijo menganggap UU KUH yang sekarang ada masih memadai, sehingga tidak perlu membuat RUU baru. “Apindo mendukung pelaksanaan Pajak, sepanjang itu fair dan Kantor Pajak perlu membina pegawainya agar menimbulkan kepercayaan masyarakat. Bukan menakut-nakuti,” katanya.
Penolakan terhadap RUU KUP juga datang dari kalangan pengusaha tekstil.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (AP) Ade Sudrajat mengatakan, sistem perpajakan harusnya ditopang dengan aturan yang jelas dan mengakomodasi semua kepentingan, baik kepentingan negara maupun pembayar pajak atau WP. Sementara, RUU KUP yang sekarang sedang bergulir cenderung berat sebelah dan hanya menguntungkan pemerintah untuk mendongkrak penerimaan negara. “Ini bisa merusak iklim investasi,” tandasnya.
Salah satu poin yang dianggap memberatkan WP menyangkut banyaknya ancaman sanksi pidana. Ade berpendapat, sanksi yang tepat bagi pelanggaran adalah sanksi perdata bukan pidana. “Sedikit-sedikit ancamannya pidana. Ini merupakan tindakan represif, sedang kami berada di negara yang mengedepankan demokrasi. Harusnya mengedepankan kebersamaan, dalam merumuskan suatu aturan,” papar Ade.
Keluhan yang sama disampaikan oleh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Selain soal sanksi, kalangan pengusaha muda ini juga mempersoalkan pasal yang memungkinkan melakukan pemeriksaan berulang di tahun pajak yang sama. “Itu sangat memberatkan WP” kata Ketua Hipmi Tax Center, Ajib Hamdani.
Ajib menilai, pasal itu tidak cocok dengan filosofi pajak self assessment di Indonesia. Dalam prinsip self assesment, WP di anggap benar sampai masa daluwarsa pajak selesai atau ditemukan data atau laporan WP tidak benar. “Dalam RUU yang bisa diberi SKP lagi sehingga kepastian hukum tidak ada,” kata Ajib.
Pembahasan A lot
Pembahasan RUU usulan pemerintah ini nampaknya berjalan alot di DPR. Soalnya, fraksi-fraksi di Komisi XI juga satu suara dengan pemerintah terkait beberapa usulan pasal dalam RUU tersebut. Nada penolakan, antara lain datang dari politisi Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Achmad Hafisz Tohir. Sependapat dengan kalangan pengusaha, ia menilai, RUU KUP memberat kan dunia usaha. Misalnya, menyangkut ketentuan mengenai kewajiban pembayaran pajak yang tidak bisa ditunda, meski pembayar pajak tengah mengajukan keberatan. “Kalau belum inkracht (berkekuatan hukum tetap), bagaimana mungkin harus dibayar pajak nya,” kata Hafisz, yang juga Wakil Ketua Komisi XI ini. Fraksi PAN sudah memasukkan usulan perubahan pasal-pasal ini di dalam menyusun Daftar Inventarisasi Masalah.
Meskipun menuai banyak protes, Direktur Peraturan Perpajakan I Arif Yanuar menampiknya. Ia bilang, kewajiban pembayaran pajak yang tidak bisa ditunda bakal merugikan pengusaha. Ketentuan baru, kata dia, justru menguntungkan pengusaha. Aturan yang berlaku sekarang, saat keberatannya kalah, WP kena sanksi 50% Dan, saat kalah di banding kena sanksi 100% “Itu juga bukan hal ringan meski ditunda,” ujarnya.
Sementara, dalam pemerintah, saat banding dan wajib pajak menang, WP justru dapat imbalan bunga 2%. Sebaliknya, jika kalah cuma kena sanksi 2%. Adapun, kemungkinan terjadi permeriksaan berulang pajak yang sama, akan dilakukan saat DJP punya data yang baru.
Jadi, lewat RUU KUP ini, pemerintah meyakini bahwa ada pemeriksaan yang harus diubah di mana mesti lebih konkret. “Jika punya data ya diperiksa. Jika terkonfirmasi sudah masuk SPT, tak masalah Jika belum masuk SPT akan kami periksa,” kata Arif.
Arif mengungkap, alasan dilakukannya perubahan skema demi mengatasi pajak yang terus menumpuk akibat banding kasus pajak. Pada 2012 jumlah sengketa pajak menimbulkan piutang Rp 71 triliun, naik pada 2013 menjadi Rp 77 triliun lalu Rp 101 triliun (tahun 2016) .
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, di satu sisi benar bahwa negara berkepentingan mendapatkan cashflow lebih cepat dan mengurangi sengketa pajak. Tapi caranya bukan dengan menciptakan restriksi, melainkan melakukan perbaikan atau peningkatan kualitas sistem prosedur dan aturan .
Menurutnya, ada perbaikan yang bisa dilakukan pemerintah di antaranya meningkatkan kualitas pemeriksaan. “Ini akan mengurangi sengketa,” ujar Yustinus.
Sumber : Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar