Beberapa hari lalu, saya tertegun waktu mau membayar parkir di salah satu mal tertua di Jakarta. Bukan karena tarifnya yang makin mencekik leher, tapi karena cara membayarnya. Petugas parkir di mal itu memaksa saya menginstal aplikasi untuk membayar parkir. Mereka tak mau menerima pembayaran dengan uang kas atau kartu uang elektronik.
Sebenarnya iming-imingnya cukup menarik, saya hanya perlu membayar Rp 1 tak peduli seberapa lama parkir di dalam gedung. Untung besar untuk para pemilik kendaraan, karena parkir di mal bisa menelan biaya Rp 5 ribu per jamnya. Tapi untuk saya, kalau ada pilihan, saya akan tetap memilih pembayaran dengan uang kas.
Selain promosi biaya parkir, aplikasi ini juga memberikan diskon 30% untuk banyak merchant di kawasan mal yang bersangkutan. Berhubung pemilik mal ini punya banyak mal dan tersebar di banyak kota, artinya pemakai aplikasi ini akan mendapatkan diskon-diskon di banyak tempat.
Mendapatkan program promosi sedahsyat ini, teman yang saya ceritakan tentang kekesalan saya dipaksa menginstal aplikasi ini mulai bingung. Kenapa tidak mau? Kan enak bayar parkir cuma Rp 1, apa lagi yang harganya Rp 1 di negeri ini? Bayar parkir pun cuma scan bar code saja di mobil, tidak usah pusing antre. Apalagi bisa dapat banyak diskon kalau beli makan di berbagai tempat.
Kekesalan saya memang lebih karena soal pemaksaan sistem pembayaran, bukan karena diskonnya. Diskon ini akan berakhir dengan sendiri, waktu masa promosi berakhir. Tapi dengan memaksa pembayaran dengan satu macam aplikasi, mau tidak mau saya harus memasukkan uang di banyak dompet elektronik. Bayangkan, berapa dompet elektronik yang harus saya isi uang kalau setiap group pengelola gedung memaksa pengunjungnya untuk membayar mempergunakan aplikasi buatan perusahaannya.
Tanpa urusan pembayaran parkir pun, kita semua sudah harus punya dompet atau uang elektronik untuk bisa mempergunakan Commuter Line, Trans Jakarta, dan jalan tol. Belum lagi kalau ingin mendapatkan diskon dari penjual atau aplikasi tertentu dengan mempergunakan Gopay, T-Cash, Ali Pay, atau Doku.
Lebih dari itu, alasan utama kekesalan saya karena masih belum rela data-data saya dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial. Di masa mendatang, database pelanggan dengan analisis yang tepat akan menjadi sumur uang untuk perusahaan.
Sumber: Harian Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel

Tinggalkan komentar