
Kondisi pasar beras di Tanah Air terbukti belum stabil. Pernah terbilang kita telah berhasil swasembada beras, namun buktinya saat ini Indonesia masih menggantungkan permintaan pada negara lain. Impor beras kembali dibuka.
Dalam perjalanan mencapai Indonesia sebagai lumbung pangan dunia, pemerintah masih harus berjuang memenuhi kebutuhan pangan terutama padi agar dapat diperoleh oleh masyarakat dengan harga terjangkau.
Di pergantian tahun 2017 ke 2018 dan berlanjut hingga minggu-minggu awal 2018, masyarakat mengeluhkan kenaikan harga beras yang signifikan di berbagai daerah.
Padahal sebelumnya, di tahun 2016, tiga komoditas pangan yaitu padi, bawang merah, dan cabai sudah dikategorikan sebagai komoditas sudah dianggap produksinya memadai.
Kebijakan pemerintah melalui penetapan Peratuan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 31 Tahun 2017 tentang Kelas Mutu Beras pun tak selalu efektif menjaga stabilitas harga beras.
Peraturan yang efektif berlaku sejak tanggal 18 September 2017 ini tak teruji lama menahan fluktuasi harga.
Harga beras mencapai titik tertinggi pada awal tahun 2018. Di Pasar Induk Beras Cipinang, harga beras jenis medium pada minggu pertama mencapai antara Rp10.500/kg sampai Rp11.500/kg.
Angka tersebut tercatat jauh melebihi harga beras pada awal 2017 yang berharga sekitar Rp 9.500/kg.
Tak hanya beras jenis medium yang mengalami kenaikan harga. Beras premium juga menunjukkan gejolak harga.
Mendag Enggartiasto Lukita dalam paparan di Kemendag beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa beras premium mencapai Rp 13.000/kg.
Sementara berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga rata-rata beras jenis medium di Jakarta Rp 14.100 per kilogram, melampaui HET yang ditetapkan sebesar Rp 9.450 per kilogram.
Masih dalam rangka menjaga kestabilan harga, khususnya beras premium, Mendag mewajibkan seluruh ritel modern untuk menjual beras premium sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.
Untuk memastikan tidak adanya kenaikan harga dari tingkat hulu, Enggar telah membuat kesepakatan dengan para suplier dan distributor untuk tidak menaikkan harga beras premium ke toko-toko ritel yang mereka pasok.
Tak mau mengambil risiko, untuk mengatasi kelangkaan pasokan beras yang berdampak pada naiknya harga jual beras di tingkat pengecer, pemerintah akan melakukan impor.
Namun menurut Enggar, beras yang akan diimpor bukanlah beras yang diproduksi selama ini di dalam negeri, melainkan beras khusus atau beras premium.
Menghadapi kenaikan harga beras dalam beberapa bulan terakhir, setelah melewati rangkaian operasi pasar, pemerintah pun memutuskan untuk membuka impor beras khusus sebanyak 500.000 ton yang berasal dari Thailand dan Vietnam.
Enggar menyampaikan bahwa beras yang diekspor beras premium namun dengan harga medium dengan menunjuk Bulog untuk impor.
Data Produksi Tak Akurat?
Namun kebijakan impor pun menuai kontroversi. Berbagai pihak menyebutkan bahwa kebijkan impor saat ini tidak tepat dilakukan mengingat produksi beras masih cukup dan tak lama lagi akan datang waktu panen raya.
Di tempat terpisah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto pernah memastikan bahwa bahwa produksi beras tidak berkurang dan ditambah dengan stok di Bulog masih sebesar 1 juta ton cukup sampai panen raya pada Februari 2018.
Dengan demikian Kementan memandang pemerintah tidak akan melakukan impor. Jika stok cukup mengapa harga tetap melambung naik?
Diantara perbedaan pendapat pemerintah, pengamat pertanian Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santoso menilai bahwa impor beras telat dilakukan saat ini mengingat panen raya akan segera datang.
Dengan prosedur impor yang memakan waktu, diperkirakan impor tidak efektif meredam masalah harga saat ini. Semestinya impor tersebut dilakukan dari Juli 2017.
Menurut analisis Dwi ada kejanggalan dari data surplus stok beras yang dimiliki Kementerian Pertanian (Kementan) sebesar 17,4 juta ton pada 2017.
Alasannya, kapasitas Bulog hanya bisa menampung 13 juta ton beras selama setahun, sedangkan konsumsi beras nasional setahun hanya separuh dari 17,4 juta ton.
Data produksi padi dalam beberapa tahun terakhir memang mencatat peningkatan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah produksi beras Indonesia naik menjadi 75,39 juta ton gabah kering giling (GKG) sepanjang 2015.
Realisasi tersebut lebih tinggi 4,55 juta ton atau 6,42 persen dibandingkan jumlah produksi 2014 sebanyak 70,84 juta ton.
Berdasarkan data Kementan, produksi padi pada tahun 2016 mencapai 79,1 juta ton, naik dari 2015 yang berjumlah 75,4 juta ton.
Pada tahun 2017 ditargetkan paling tidak mencapai 78 juta ton produksi padi atau setara 45,2 juta ton beras.
Kenaikan produksi terjadi karena bertambahnya luas area panen 0,32 juta hektare atau 2,31 persen dan naiknya produktivitas sebesar 2,06 kuintal per hektare setara 4,01 persen.
Berdasarkan data BPS, Kementerian Pertanian mengestimasi bahwa Indonesia mengalami surplus beras sebanyak 400 ribu ton pada tahun 2018.
Dengan mengacu pada data total panen padi di bulan Desember 2017 dengan luas tanam 1,1 juta hektare, produktivitasnya mencapai 6 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 3 juta ton beras.
Produksi tersebut diharapkan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional selama satu tahun sebesar 2,6 juta ton.
Dengan demikian masih ada stok lebih 0,4 juta ton atau 400 ribu ton beras.
Tak hanya itu, sebelumnya, Pejabat Fungsional Statistisi Pertanian, Pusat Data dan Sistem Informasi Kementan Sri Wahyuni menyampaikan bahwa data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan volume ekspor beras konsumsi selama Januari hingga Oktober 2017 mencapai 4.227 persen dibanding periode yang sama di 2016.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah manergetkan Indonesia sebagai Lumbung Pangan Dunia di tahun 2045.
Sebagai lumbung pangan dunia, diharapkan Indonesia lebih dari sekedar mencapai swasembada namun juga dapat mengekspor ke luar negeri.
Selain padi, program swasembada komoditas pangan juga ditujukan bagi 7 komoditas pangan utama lainnya yaitu bawang merah, cabai, jagung, kedelai, gula, daging sapi, dan bawang putih.
Posisi Indonesia sebagai produsen beras di dunia patut diperhitungkan.
Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil beras terbesar ketiga di dunia dengan produksi gabah sebesar 70 juta ton, dengan konversi menjadi beras sekitar 39 juta ton beras, dengan kebutuhan rata-rata beras per bulan 2,67 juta ton.
Namun disadari bahwa tantangan untuk memenuhi target pemerintah memang tak mudah. Jumlah penduduk Indonesia juga bermuara pada besarnya kebutuhan beras masyarkat.
Jika pada tahun 2005 kebutuhan beras setara 52,8 juta ton gabah kering giling (GKG), kebutuhan beras diprediksi akan terus meningkat hingga mencapai 65,9 juta ton GKG hingga tahun 2025.
Tak banyak yang mengetahui, beras yang beredar di berbagai wilayah di Tanah Air, terdiri dari berbagai jenis.
Berdasarkan informasi Badan Standardisasi Nasional (BSN), beras terbagi atas 4 klasifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI) mutu beras, yakni premium, medium I, medium II, dan medium III.
Beberapa persyaratan umum untuk SNI beras tersebut diantaranya bebas hama dan penyakit, bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya, bebas dari campuran dedak dan bekatul, dan bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen.
Sumber : industry.co.id
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Ekonomi
Tinggalkan komentar