Sudah Benarkah Pungutan Zakat ASN?

Rencana pemerintah memungut zakat dari gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) terus menggulirkan polemik. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, pungutan zakat dari gaji ASN Muslim bukan hal yang baru diterapkan. Menurut dia, pemerintah daerah sudah lebih dahulu menerapkan aturan ini.

“Sebenarnya ini bukan barang baru, jadi ada pemerintah provinsi dan pemerintah kota sudah menerapkan ini kepada ASN di daerah. Beberapa kementerian dan lembaga juga sudah menerapkan,” ujarnya saat konferensi pers di Gedung Kemenag, Jakarta, Rabu (7/2).

Menag menjelaskan, pungutan zakat ASN Muslim sudah tertera dalam UU No 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Lalu turunan PP 14 Tahun 2014 tentang pelaksaan zakat, Inpres 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di Kementerian dan Lembaga Negara, Pemda, BUMN/D dan terakhir Permenag 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah.

“Hanya selama ini kami nilai belum terintegrasi dalam sebuah sistem yang transparan dan terkelola dengan baik,” ucap Menag.

Karenanya, kata Menag, Kementerian Agama sedang menyempurnakan mekanisme pungutan zakat ASN Muslim secara tepat. Ia berkata, pembicaraan proses mekanisme itu masih sebatas pembahasan internal Kemenag, sekaligus berkoordinasi dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan lembaga amil resmi lainnya.

Ke depan, Menag juga akan menerapkan pungutan zakat bagi anggota TNI dan Polri serta komunitas lainnya. Apalagi Kemenag memperkirakan potensi zakat dari ASN Muslim bisa mencapai Rp 10 triliun per tahun. Sedangkan penerimaan zakat saat ini baru mencapai Rp 6 triliun dari potensi seluruh penerimaan zakat di negeri ini sebesar Rp 217 triliun.

Menurut Menag, dana zakat yang berasal dari gaji ASN Muslim akan disalurkan untuk kemashalatan masyarakat. Baik di bidang sosial, pendidikan, kesehatan hingga bencana alam. Terpenting, dana itu tidak sebatas kepentingan umat Muslim saja. “Bisa dunia pendidikan, membangun pondok pesantren, sekolah, madrasah, memberikan beasiswa. Untuk kegiatan sosial, membangun perekonomian masyarakat, untuk rumah sakit, kesehatan termasuk untuk mereka mengalami musibah misal banjir, gempa bumi yang memerlukan dana,” ujar Lukman memaparkan.

Bahkan, ada kemungkinan dana zakat tersebut akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Hal tersebut bergantung dari lembaga amil dalam menerjemahkan dana kemaslahatan masyarakat. “Kami bisa menjelaskan bahwa mereka menggunakan dana zakat untuk kemaslahatan masyarakat secara umum dan luas. Ada juga dana pendayagunaan ekonomi masyarakat produktif. Intinya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.

 

Sementara Anggota Komisi 8 DPR RI, Diah Pitaloka saat berbincang dengan Republika.co.id, Kamis (8/2), punya pendapat terkait rencana tersebut. Menurut dia, sebaiknya lebih dulu ada pertemuan antara Komisi 8 dengan Kementerian Agama.

“Kita ingin Kemenag dalam mengeluarkan kebijakan tersebut, dibicarakan dulu dengan Komisi 8 sebagai mitra kerja Kemenag. Kami ingin mendengar dari Kemenag mulai dari pengambilan kebijakan sampai distribusinya (zakat), dan yang paling penting dasar normatifnya dibuat dulu,” kata Diah.

Permintaan itu menurut Diah bukan tanpa sebab. “Mengelola zakat itu tidak mudah,” ucap politikus PDIP ini.

Diah Pitaloka menilai pemerintah belum siap mengelola dana zakat yang begitu besar. Ia menuturkan, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 200 triliun per tahun. Namun, data BAZNAS tentang penghimpunan zakat tahun 2017 baru Rp 7 triliun.

Padahal, menurut Diah, angka ini sudah naik signifikan dibanding tahun sebelumnya. Menurut dia, pemerintah belum siap untuk mengelola zakat. “Kita lihat saja dari bagaimana hari ini pemerintah mengelola dana haji yang juga masih jadi pekerjaan rumah yang belum selesai di Kementerian Agama,” kata Diah

Anggota Komisi VIII DPR lainnya, Noor Achmad juga ikut angkat bicara. Ia berkata, jika memang Perpres pemotongan gaji ASN Muslim sebesar 2,5 persen hanya imbauan, maka tidak perlu ada nota keberatan rencana tersebut.

“Imbauan ya jangan ada nota keberatan. Kalau imbauan berarti bersifat pilihan, artinya bisa membayar lewat pemotongan langsung bisa tidak,” ungkap politikus Partai Golkar, saat dihubungi melalui pesan singkat, Kamis (8/2).

Noor Achmad menambahkan, jika ada nota keberatan, maka itu bukan imbauan. Justru malah membuat pilihan yang sulit bagi ASN. Sebab, tidak menutup kemungkinan bisa jadi ASN yang sebenarnya berat, tapi terpaksa tidak membuat nota keberatan karena malu atau tidak enak dengan atasan atau takut dianggap tidak loyal.

“Kalau memang imbauan, ya ASN diberi pilihan dua yaitu membayar zakat lewat pemotongan langsung atau disalurkan sendiri,” tambahnya.

Di samping itu, dana zakat harus dipastikan hanya untuk delapan kelompok sebagaimana disebut dalam Nash Alquran atau Hadis. Sebenarnya, dana zakat tersebut, kata Noor Achmad, dapat digunakaan untuk infrastruktur asal ada kaitannya dengan ashnaf delapan kelompok tersebut.

Dia memberikan contoh, digunakan membangun rumah sakit untuk kaum dhuafa. “Juga bisa untuk membangun pasar yang diperuntukkan untuk jualan oleh golongan ekonomi lemah,” ujarnya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi rencana pemerintah mengenai pemotongan zakat untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) sebesar 2,5 persen. Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi mengatakan, pihaknya belum pernah diajak musyawarah oleh Kementerian Agama maupun Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), sehingga MUI belum bisa memberikan pendapat terkait dengan rencana tersebut.

Hanya, yang perlu ditekankan masalah zakat tidak hanya sekedar memungut dan mengumpulkan uang dari muzakki (orang yang berzakat) saja, tetapi menyangkut juga tentang siapa saja PNS yang terkena kewajiban zakat, berapa batas nishab dari gaji/pendapatan yang dikenakan wajib zakat. Apakah sifatnya mandatory (wajib) atau voluntary (sukarela) dan bagaimana tasharruf (penyaluran, distribusi) zakat tersebut.

“Syariat Islam memberikan perhatian besar dan memberikan kedudukan tinggi pada ibadah zakat ini,” ujarnya kepada Republika.co.id, Jakarta, Kamis (8/2).

Ibadah zakat adalah merupakan salah satu dari rukun Islam. Zakat diwajibkan atas setiap orang Islam yang telah memenuhi syarat. Selain untuk melaksanakan perintah Allah SWT, tujuan pensyariatan zakat ialah untuk membantu umat Islam yang membutuhkan bantuan dan pertolongan.

“Kami setuju bahwa potensi zakat harus lebih dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan umat Islam,” ucapnya.

Namun, diharapkan dalam pelaksanaannya harus melalui sebuah perencanaan yang baik, kesiapan institusi zakat (BAZNAS) yang profesional, kapabel, dan akuntabel. “Lebih dari itu juga harus melibatkan para pihak yang memiliki kepentingan dan kepedulian terhadap pengelolaan zakat,” ungkapnya.

Dompet Dhuafa (DD) mengingatkan agar pengumpulan dana zakat dari Aparatur Sipil Negara (ASN) harus transparan dan akuntabel. Penyalurannya pun harus dipastikan pada lembaga yang sudah terbukti amanah dan bisa mengoptimalkannya.

Hal ini disampaikan Presiden Direktur DD, Imam Rulyawan terkait wacana pemerintah memfasilitasi zakat ASN sebesar 2,5 persen. “Yang penting pada saat mengumpulkan dana harus transparan dan akuntabilitasnya terjaga,” kata dia.

Menurut Kementerian Agama, dana zakat ASN tersebut nantinya diserahkan dan dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan Lembaga Amiz Zakat Nasional (Laznas). Imam mengatakan pemerintah belum mengomunikasikan ini dengan DD secara langsung.

“Belum ada komunikasi soal diajak pengelolaan atau tidak,” kata dia pada Republika, Kamis (8/2). Namun menurutnya, pemerintah perlu memastikan pengelola harus lembaga yang sudah terbukti amanah dan bisa mengoptimalkan dana zakat tersebut.

Hal ini karena tujuannya dalam rangka pengentasan kemiskinan. Sehingga perlu dilakukan oleh lembaga yang sudah terbukti kompeten, memiliki rekam jejak baik juga punya hasil yang sudah terukur.

Menurutnya, DD siap bekerja sama dengan pemerintah karena memiliki banyak program dan portofolio di berbagai bidang untuk pengentasan kemiskinan. Baik di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan hingga dakwah.

“Kita sudah punya portofolio, program yang terbukti mengubah seseorang dari fakir miskin menjadi pemberi zakat,” kata dia. Bahkan seseorang itu memiliki penghasilan hingga 1,5 kali upah minimal karyawan di daerahnya.

Sehingga, Imam mengingatkan pihak mana pun yang nanti mengelola harus punya model dan tolak ukur yang sesuai. Baik pengumpulan maupun pengelolaan sehingga memiliki hasil yang bisa diukur dan dipertanggungjawabkan.

Sumber : republika.co.id

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar