JAKARTA. Defisit neraca transaksi berjalan atawa current account deficit (CAD) menjadi salah satu masalah fundamental yang selalu menekan nilai tukar rupiah. Celakanya, tahun ini CAD kita berpotensi meningkat lantaran impor belanja infrastruktur melonjak. Tapi, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah strategi guna menekan CAD negeri ini ke level yang sehat, di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sebenarnya, CAD Indonesia dalam tren perbaikan. Tahun 2013 lalu CAD negara kita berada pada level 3,18% dan tahun 2014 turun ke posisi 2,95%. Cuma, tahun 2015 CAD kita akan kembali tembus 3% karena defisit neraca perdagangan naik. Ini buntut aktivitas impor yang tinggi demi mendukung peningkatan realisasi belanja infrastruktur.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menjanjikan laju CAD akan terkendali, meski pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur. Pemerintah akan menekan CAD melalui neraca perdagangan dan neraca jasa.
Dari sisi neraca dagang ekspor dan impor, setidaknya ada empat kebijakan. Pertama, segera terbit peraturan menteri keuangan (PMK) yang memungkinkan pengenaan bea masuk antidumping dan bea masuk tindakan pengamanan sementara.
Dalam prosedur normal, ketika ada tuduhan dumping terhadap impor dari suatu negara, maka butuh proses investigasi, baik oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) ataupun Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Proses ini bisa memakan waktu hingga satu tahun. Alhasil, dampak dumping tersebut sudah terjadi dan neraca perdagangan Indonesia terganggu karena arus impor yang besar.
Untuk mengatasi lamanya masa investigasi inilah, bila ada indikasi atau tuduhan awal mengenai dumping, produk impor bisa langsung dikenakan bea masuk. “Sehingga, kami bisa mengontrol laju impor barang yang dicurigai melakukan dumping,” kata Bambang, Selasa (10/3).
Setelah penyelidikan KADI atau KPPI selesai dan ternyata memang terjadi dumping atau memerlukan tindakan pengamanan, maka kasus ini akan diteruskan menjadi permanen. Tapi, jika tak terbukti, pemerintah akan mengembalikan uang bea masuk yang telah dibayarkan di awal.
Kedua, revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2011 yang mengatur pengurangan pajak penghasilan alias tax allowance. Perusahaan yang mengekspor produknya minimum 30% dari total produksi akan mendapatkan tax allowance. Insentif ini berupa pengurangan pajak maksimal 30% selama enam tahun, akselerasi depresiasi dan amortisasi, pemberian kompensasi kerugian minimum lima tahun dan maksimal 10 tahun, serta pengurangan pembayaran dividen dari 20% menjadi 10%. Rencananya, revisi beleid tersebut kelar akhir Maret 2015.
Ketiga, mengeluarkan PP untuk membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi perusahaan pembuat galangan kapal di dalam negeri. Selama ini, banyak kapal harus impor sehingga turut menyumbang defisit neraca perdagangan negara kita.
Keempat, meninjau ulang kebijakan biodiesel. Saat ini porsi biodiesel adalah 10%. Bambang bilang, Kementerian Keuangan bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membicarakan peningkatan porsi biodiesel sehingga mengurangi impor minyak.
Mengatasi neraca jasa
Sementara dari sisi neraca jasa ada tiga kebijakan pemerintah. Pertama, pemerintah akan memberikan tax allowance bagi perusahaan yang reinvestasi ke dalam negeri. Selama ini, salah satu beban CAD yang besar terutama selama periode triwulan kedua adalah lantaran ada repatriasi aset ke luar negeri.
Kedua, pendirian badan usaha milik negara (BUMN) reasuransi. Sejauh ini, perusahaan kita menggunakan asuransi atau reasuransi asing untuk membagi risiko. Alhasil, arus keluarnya tinggi dan menyumbang defisit di neraca jasa. Pemerintah ingin mengurangi tekanan tersebut dengan mendirikan perusahaan pelat merah reasuransi.
Ketiga, memperlancar remitansi atau jumlah kiriman uang dari tenaga kerja Indonesia (TKI). Salah satu yang membuat cadangan devisa India besar ialah, arus remitasi yang lancar dan warga negeri Gangga di luar negeri gampang menaruh uangnya di sistem perbankan India.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pemerintah memang harus segera mengambil kebijakan strategis demi mengendalikan impor dan menggenjot ekspor. Soalnya, sebagian kandungan dari proyek infrastruktur adalah produk impor. “Jika tidak ada proyek infrastruktur, CAD kita bisa ke 2,8%,” ungkap Perry.
Memang, Perry menambahkan, neraca transaksi berjalan yang masih defisit menjadi salah satu penyebab pelemahan rupiah dalam beberapa tahun terakhir. Kepercayaan pelaku pasar berkurang akibat CAD yang tak sehat.
Menurut Josua Pardede, ekonom Bank Permata, jika pemerintah ingin menekan CAD, kebijakan yang tepat dalam jangka menengah panjang adalah hilirisasi industri. Industri-industri yang selama ini berorientasi impor tinggi harus dikurangi. Sebagai langkah awal, tidak menjadi masalah kalah memang membutuhkan produk impor. Namun, ke depan harus bisa semakin dikurangi ketergantungan impornya, dengan cara mengembangkan subtitusinya.
Industri permesinan menjadi salah satu industri yang sangat dibutuhkan untuk dibangun di Indonesia. “Turunkan biaya logistik dengan membangun infrastruktur. Itu dorongan yang dibutuhkan untuk meningkatkan industri kita,” imbuh Josua.
Di sisi lain, Lana Soelistianingsih, ekonom Samuel Aset Manajemen, menilai cara efektif untuk menurunkan CAD khususnya di neraca jasa yang defisitnya tinggi adalah, dengan mendongkrak jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke negara kita. Pariwisata Indonesia harus bisa dipoles, agar bisa menarik perhatian dan tidak berkutat pada Pulau Bali saja.
Malaysia saja bisa mendatangkan turis asing hingga
20 juta orang per tahun. Bandingkan dengan pelancong asing yang pelesiran ke Indonesia hanya 9 juta orang. Padahal dari sisi kekayaan alam, kita jauh lebih indah.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar