Tanggal 1 April 2015 lalu, pelabuhan yang menjadi pintu ekspor minyak kelapa sawit (CPO) tidak sesibuk hari-hari sebelumnya. Kok, bisa? Habis, sejumlah eksportir komoditas andalan Indonesia ini hari itu tidak mengirim produknya ke luar negeri.
Paling tidak, begitu pengakuan Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Menurutnya, sebagian anggota GAPKI, Rabu (1/4) lalu, tidak mengekspor sawit.
Apa sebab? Fadhil mengungkapkan, langkah sebagian anggota gapki itu sebagai jawaban atas kewajiban penggunaan letter of credit (L/C) dari perbankan dalam negeri bagi para eksportir mulai 1 April 2015. “Mereka mengantisipasi kewajiban tersebut,” katanya.
Entah apakah akibat banyak pengusaha kelapa sawit yang tidak melakukan ekspor CPO di hari pertama pemberlakuan kewajiban penggunaan L/C, yang jelas hari itu juga pemerintah melonggarkan aturan tersebut. Eksportir batubara, mineral, minyak dan gas, serta CPO dan produk turunannya boleh tidak memakai L/C lokal dengan syarat tertentu
Kewajiban menggunakan L/C lokal merupakan salah satu dari paket kebijakan ekonomi pemerintah Joko Widodo (Jokowi). Seeret aturan baru disiapkan pemerintah sebagai obat kuat ekonomi kita. Dengan begitu, perekonomian negeri ini bisa tumbuh tinggi, paling tidak sesuai target pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBN-P) 2015 sebesar 5,7%. Syukur-syukur bisa memenuhi keinginan Jokowi, mencapat 7%.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil bilang, dengan paket kebijakan tersebut, fundamental ekonomi Indonesia semakin kokoh, dan dalam waktu dekat pasokan dollar Amerika Serikat (AS) di dalam negeri bertambah sehingga otot rupiah kembali menguat. Maklum, nilai tukar mata uang garuda selama dua pekan terakhir ada di kisaran rp 13.000 per dollar AS, posisi terendah sejak 1998 silam. “Paket kebijakan ini merupakan wujud komitmen pemerintah dalam melakukan reformasi struktural perekonomian,” ujarnya.
Itu sebabnya, mulai 1 April lalu pemerintah satu per satu mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Yang pertama, kewajiban menggunakan L/C lokal untuk kegiatan ekspor. “Kebijakan ini untuk mendorong optimalisasi dan akurasi perolehan devisa hasil ekspor, khususnya komoditas sumber daya alam strategis,” kata Menteri Perdagangan Rachmat Gobel.
Penerapan L/C dari bank dalam negeri akan memudahkan pemerintah mengetahui secara akurat angka devisa dan harga komoditas ekspor. Maklum, selama ini terdapat perbedaan pencatatan nilai ekspor.
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan Kementerian Koordinator Perekonomian Edy Putra Irawady membeberkan, nilai ekspor light petroleum oil ke Singapura tahun 2013 yang tercatat oleh pemerintah hanya sebesar US$ 79,9 juta. Tapi, hitungan negeri Merlion, impor light petroleum oil dari Indonesia mencapai US$ 487,8 kita. Artinya, “Selisih sebanyak US$ 408,1 juta ini lari ke mana?” Tanya Edy.
Selain sektor minyak dan gas (migas), terdapat perbedaan secara trade perspective pada ekspor batubara ke India tahun 2013 yang tercatat di buku Indonesia sebesar US$ 3,5 miliar. Namun, India melaporkan import batubara dari Indonesia mencapai US$ 6,8 miliar. Setali tiga uang, ekspor CPO ke India terdata hanya US$ 2,3 miliar, tapi yang tercatat di negeri Gangga lebih dari dua kali lipat yakni US$ 4,9 miliar.
Pun dengan ekspor minyak mentah kita ke Thailand pada 2013 lalu, tertulis cuma US$ 840 juta. Padahal, negara gajah putih melaporkan impor emas hitam mereka dari Indonesia sebanyak US$ 1,5 miliar.
Tax allowance
Meski ada perbedaan data, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said berdalih, seluruh ekspor migas sudah sesuai dengan pencatatan dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan kementerian perdagangan. “Pencatatan ekspor sudah dilakukan secara berlapis, seperti oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Bank Indonesia (BI),” kilahnya.
Kebijakan ekonomi kedua yang dirilis pemerintah adalah pengurangan pajak penghasilan alias tax allowance. Rabu (1/4) lalu, jokowi meneken revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2011 yang berlaku efektif 1 Mei nanti.
Lewat beleid ini, investor yang mau menanamkan modalnya di Indonesia antara lain bakal mendapatkan diskon Pajak Penghasilan (PPh) badan maksimal sebesar 30%. Lalu, akselerasi amortisasi, depresiasi, kompensasi kerugian yang lebih lama menjadi 10 tahun, serta PPh atas dividen yang dibayarkan pada subjek pajak luar negeri sebesar 10%. Ada 120 sektor lebih yang akan memperoleh fasilitas ini, yang mayoritas sektor manufaktur.
Sofyan menjelaskan, cakupan penerima tax allowance juga diperluas kepada perusahaan yang mau menginvestasikan lagi laba mereka dan perusahaan yang melakukan riset besar.
Kemudian, perusahaan dengan orientasi ekspor hingga 30%, penggunaan tenaga kerja dalam negeri dalam jumlah besar, termasuk penambahan beberapa sektor baru seperti sektor maritim. Tak hanya itu, “Proses pemberian tax allowance menjadi lebih cepat, antara 20 hari sampai 50 hari,” janji Sofyan.
Deputi Bidang Pengendalian Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Azhar Lubis menyebutkan, salah satu syarat untuk mendapatkan tax allowance adalah punya izin prinsip penanaman modal dari lembaganya. “Fasilitas tax allowance sudah ada sejak tahun 2007,” katanya.
Selama ini, sudah ada 50 perusahaan yang menikmati tax allowance. Meski begitu, bkpm tak memasang target berapa banyak perusahaan yang mendapat fasilitas tersebut tahun ini. Yang pasti, target realisasi investasi tahun ini mencapai Rp 519 triliun. Dan, “Tax allowance merupakan salah satu insentif yang ditawarkan oleh pemerintah,” tambah Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Farah Ratna Dewi Indriani.
Sunset policy
Masih di bulan yang sama, pemerintah segera menerbitkan paket kebijakan ekonomi lainnya yaitu aturan sunset policy dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk hunian mewah. Payung hukum sunset policy adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memerintahkan semua wajib pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dengan bonus pembebasan sanksi denda sebesar 2%.
Berbeda dengan kebijakan sebelumnya, sunset policy tahun ini diperluas yang mencakup juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito optimis, sunset policy bisa menghasilkan pemasukan pajak Rp 40 triliun. “Efek kebijakan ini diharapkan mendongkrak setoran pajak 30%,” ujar Sigit.
Maklum, pajak yang masuk ke kocek negara selama tiga bulan pertama masih minim, baru sekitar Rp 170 triliun. Itu berarti, penerimaan pajak baru sekitar 13,1% dari target yang mencapai Rp 1.295,6 triliun. Persentase perolehan penerimaan pajak sepanjang Januari-Maret ini yang terendah dalam lima taun terakhir.
Untuk ppnbm, kelak nilai pajak mengacu ke harga rumah dari sebelumnya berdasarkan luas tanah. Hunian mewah di atas Rp 2 miliar kena PPnBM sebesar 20% dari harga jual. Dari kajian awal direktorat pajak, potensi penerimaan dari kebijakan tersebut sebesar Rp 341 miliar.
Paket kebijakan ekonomi yang juga siap meluncur bulan ini adalah bebas visa untuk 45 negara dari sebelumnya yang hanya 15 negara atau bertambah 30 negara. Dari 30 negara itu, hampir semua negara di benua Eropa dan Amerika masuk di dalamnya. “Pembahasannya sudah final. Mungkin Senin (6/4) sudah terbit,” kata Direktur Litigasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Ham Nasrudin.
Dengan bebas visa, harapan pemerintah adalah menyedot wisatawan mancanegara lebih banyak lagi. Kementerian pariwisata memasang target, dengan tambahan 30 negara bebas visa, jumlah turis asing yang pelesir ke Indonesia tahun ini menjadi 10 juta orang.
Tak tanggung-tanggung, dalam lima tahun ke depan pemerintah menetapkan target kunjungan 20 juta wisatawan asing, dengan pemasukan devisa mencapai Rp 260 triliun. Sektor pariwisata tercatat menghasilkan devisa sebesar US$ 10,05 miliar selama tahun 2013. Adapun sepanjang 2014, sektor pariwisata menyumbang devisa sebanyak US$ 10,69 miliar.
Ya semoga semua obat kuat ekonomi kita itu benar-benar mujarab. Tak hanya otot rupiah yang menguat, juga ekonomi kita bisa tumbuh tinggi.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar