Tahun ini, pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7%. Untuk mencapai target itu, pemerintah mengandalkan investasi sebagai salah satu bahan bakar utama pendorong pertumbuhan ekonomi. Nah, agar investor asing mau menanamkan duitnya di negara kita, Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan langsung merayu mereka. Pemerintah juga menyiapkan insentif dan kemudahan.
Ibarat tenaga pemasaran, Jokowi gencar menawarkan peluang investasi di Indonesia. Dalam kunjungan kenegaraan ke Jepang dan China pekan lalu, Presiden merayu pemodal besar di negeri matahari terbit dan negeri tembok raksasa agar berinvestasi di Tanah Air.
Kunjungan Jokowi ke Jepang dan China berbuah manis. Dua perusahaan otomotif dunia yang berbasis di Jepang, Toyota Motor Corp dan Suzuki Motor Corp berjanji menambah investasinya di Indonesia. Toyota akan menggelontorkan investasi US$ 1,6 miliar, sementara Suzuki berkomitmen US$ 1 miliar. Sejumlah pabrikan tekstil, baja, pengolahan ikan, galangan kapal, hingga kelistrikan asal Jepang juga berjanji masuk ke Indonesia. Total janji investasi mereka US$ 1,45 miliar.
Dari China, oleh-oleh Jokowi adalah : SAIC Motor Corp dan Liuzhou Wuling berencana membangun pabrik mobil murah hemat energi alias low cost green car (LCGC) dengan nilai US$ 700 juta. Dan, masih banyak lagi komitmen investasi dari pengusaha Tiongkok.
Keberhasilan Jokowi membawa pulang komitmen investasi dari Jepang dan China menunjukkan iklim investasi kita sudah baik? Kendala apa yang masih mengganjal investasi di Indonesia? Paket kebjakan ekonomi yang disiapkan pemerintah bisa jadi insentif?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani membeberkan kepada wartawan Tabloid KONTAN Lamgiat Siringoringo pada Kamis (2/4) lalu.
Berikut petikannya :
KONTAN : Dalam lawatannya ke China dan Jepang, Jokowi berhasil mendapatkan komitmen investasi dari pelaku usaha dari kedua negara tersebut. Tanggapan Anda?
HARIYADI : Itu sangat bagus, menunjukkan potensi-potensi yang ada di Indonesia. Dari segi promosinya sangat bagus sekali, tinggal bagaimana eksekusinya di Indonesia. Saat investor asing masuk, jangan sampai mereka malah dikecewakan. Misalnya, pembangkit listrik tidak ada, pengajuan perizinan dipersulit, dan sebagainya. Itu menjadi masalah. Proses dari menyatakan minat harus sampai dengan eksekusinya.
KONTAN : Artinya, iklim di Indonesia masih belum bagus buat investasi, ya?
HARIYADI : Jadi begini, kan, prosesnya tidak hanya saat ditawarkan. Eksekusinya yang paling penting. Eksekusi investasi, kan, banyak di daerah. Yang harus diantisipasi adalah di pemerintah daerah, karena kebanyakan tidak satu persepsi dengan pemerintah pusat. Misalnya, masalah lahan, kan, selama ini menjadi masalah. Lalu, proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi atau geothermal yang tumbang tindih antara pemerintah daerah dengan Kementerian Kehutanan.
Nah, ini semua yang harus disinkronkan. Benar-benar masalah pemerintah daerah ini harus menjadi perhatian. Soalnya, selama ini banyak proyek pemerintah pusat yang terhambat gara-gara perbedaan persepsi antara pusat dan daerah. Tata ruang juga belum jelas. Pusat bilang, itu bukan hutan lindung. Daerah bilang, itu hutan lindung. Ini masalah.
KONTAN : Kalau masalahnya dari dulu itu-itu saja, iklim investasi kita dari dulu enggak ada perubahan, dong?
HARIYADI : Dari segi peraturan dan infrastruktur, Indonesia memang belum banyak kemajuan. Jadi, jangan harap proses dari komitmen investasi ke eksekusi secepat yang dibayangkan. Indonesia banyak dilirik oleh investor asing karena pertumbuhan ekonomi dan populasi yang tinggi. Kalau dari segi infrastruktur, aduh. Mau bikin hotel di luar Jawa masih harus tanya dulu, ada listriknya enggak. Jadi, tidak banyak perubahan. Waktu eksekusi investasi yang menjadi masalah.
Padahal, persepsi internasional terhadap Indonesia sangat bagus sekali. Misalnya, indikator itu ada di pasar modal. Perusahaan-perusahaan yang baru initial public offering (IPO) di bulan-bulan lalu peminatnya sangat bagus. Investor asing haus sekali masuk ke Indonesia. Sayang, itu harus dipersulit dan kena masalah infrastruktur seperti pasokan listrik.
KONTAN : Tapi, apa yang harus segera diperbaiki pemerintah agar proses eksekusi investasi berjalan mulus?
HARIYADI : Yang paling segera untuk direspon adalah infrastruktur. Untuk itu, harus ada guide line dan koordinasi yang cepat. Dari segi manajemen dan koordinasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan instansi terkait harus lancar, harus terjadi koordinasi yang insentif terutama dengan pemerintah daerah. Kata kuncinya adalah koordinasi.
KONTAN : Sudah ada tanda-tanda pemerintah Jokowi akan melakukan perbaikan iklim investasi kita?
HARIYADI : Ini masih berproses, kami masih menunggu. Tapi, ada kabar baik juga. Misalnya, Grup Bosowa waktu membuat pembangkit listrik ternyata izinya lumayan cepat. Kalau secara fair, saya menilai ada upaya perbaikan. Tapi, ini, kan, juga tergantung pemerintah daerah. Kalau Bosowa mungkin karena pengusahanya Sulawesi Selatan, jadi mungkin bisa cepat izin pembangunan pembangkit listrik di Sulawesi Selatan. Cuma, bagaimana kalau asing yang masuk? Bisa cepat juga tidak? Ini, kan, masih membutuhkan waktu.
KONTAN : Selain investasi masuk deras ke Indonesia, dampak lain dari perbaikan iklim investasi apa?
HARIYADI : Tenaga kerja pasti akan terserap. Pajak akan masuk dari investor asing. Lalu, ketergantungan impor juga akan berkurang karena mungkin bakal ada substitusi.
KONTAN : Lalu, sektor apa saja yang membutuhkan penanaman modal asing?
HARIYADI : Pembangkit listrik, pelabuhan, kereta api, galangan kapal. Itu yang paling besar biayanya. Lokal belum sanggup secara keuangan.
KONTAN : Cuma sejatinya, Jokowi lebih sibuk mengurus ekonomi atau politik?
HARIYADI : Kalau saya melihat, masih terlalu hiruk pikuk politik.
KONTAN : Paket kebijakan ekonomi yang disiapkan Jokowi masih belum cukup?
HARIYADI : Dari paket kebijakan itu yang paling sulit diimplementasikan, pertama, penggunaan bahan bakar nabati. Untuk saat itu harga bahan bakar fosil masih murah. Itu pasti akan menjadi kendala. Kedua, insentif ke investor asing untuk tidak menarik dividen tapi diinvestasikan ke dalam negeri. Ini sulit untuk mempertahankannya. Insentifnya seperti apa. Itu yang menjadi catatan.
KONTAN : Jadi, paket kebijakan tidak aplikatif?
HARIYADI : Ada yang cepat tapi hanya bertujuan mendorong penguatan rupiah.
KONTAN : Paket kebijakan ekonomi pemerintah kontraproduktif enggak dengan target penerimaan pajak tahun ini yang sangat besar?
HARIYADI : Memberikan insentif tapi pemerintah menaikkan target pajak. Saat ekonomi kita melambat, target penerimaan pajak yang agresif itu agak kurang tepat, naiknya tinggi sekali. Kalau dipaksakan malah mendistorsi pertumbuhan ekonomi kita sendiri.
Tapi, yang menjadi tanda tanya adalah, pemerintah memberikan insentif Cuma menaikkan target penerimaan pajak. Sekarang sudah jalan tiga bulan, pasti akan agresif sekali mencari penerimaan pajak. Insentif bertentangan dengan target penerimaan pajak. Padahal, insentif, kan, temannya adalah pertumbuhan ekonomi. Ini, kan, tidak nyambung, kecuali ekonomi kita lagi bagus.
KONTAN : Memang, target penerimaan pajak tahun ini yang tinggi tersebut akan berdampak ke pengusaha?
HARIYADI : Iya. Kami melihat seperti itu. Baru-baru ini, kan, sudah ada pajak properti yang tadinya harga Rp 10 miliar kena pajak, sekarang Rp 2 miliar sudah kena pajak. Ini kami langsung reaktif, karena industri properti bisa langsung bubar. Lalu, ada juga minyak kelapa sawit (CPO) kena bea keluar. Industri yang nilai investasinya besar juga kena pajak besar. Ini, kan, jelas tidak kondusif.
KONTAN : Kalau begitu, pengusaha cukup resah dengan target penerimaan pajak yang sangat tinggi, ya?
HARIYADI : Target penerimaan pajak terlalu besar, turunannya pasti akan agresif. Itu akan menganggu pertumbuhan. Perusahaan juga akan terganggu dengan target penerimaan pajak yang tinggi. Jadi, menurut saya, utamakan pertumbuhan ekonomi dulu, maka dengan sendirinya penerimaan pajak akan mengikuti. Kalau pasang target tinggi, ujung-ujungnya pengusaha juga yang kena.
KONTAN : Secara keseluruhan, dari kacamata pengusaha, apakah kinerja tim ekonomi Jokowi sudah bagus?
HARIYADI : Ada beberapa kebijakan yang harus dikritisi. Misalnya, soal larangan pegawai negeri sipil (PNS) menggelar rapat di hotel. Tapi, kemarin, kan, ada perbaikan kebijakan itu, boleh rapat di hotel kalau pesertanya banyak. Nah, ini kami melihat bagus.
Hanya, ada juga kebijakan di sektor perikanan yang harus dikritisi. Mungkin Menteri Kelautan dan Perikanan yang harus dikritisi. Mungkin Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti harus memberikan sedikit relaksasi . Tim ekonomi Jokowi harus melihat masalah secara menyeluruh. Jangan Cuma ad hoc. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi paling penting. Makanya, jangan target penerimaan pajak yang dibesarkan karena akan distorsi dengan pertumbuhan.
KONTAN : Anda, kan, belum lama menjadi Ketua Umum Apindo. Lalu, apa saja program mendesak anda?
HARIYADI : Kami akan melakukan business matchmaking dengan calon investor dari luar negeri. Kami akan pertemukan dan kawinkan mereka dengan pengusaha dalam negeri.
KONTAN : Pengusaha lokal yang akan dipertemukan dan dikawinkan siapa saja?
HARIYADI : Usaha kecil dan menengah (UKM). Sebab, perusahaan besar, kan, sudah punya lini bisnis sendiri. Sektornya, ya, semua, karena UKM punya kemampuan. Ada permintaan dari investor asing dan menggalinya dengan pengusaha lokal.
KONTAN : Ketua Umum Apindo sebelumnya Sofjan Wanandi, kan, masuk dalam tim ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla. Apakah Apindo tetap kritis ke pemerintah?
HARIYADI : Kami akan selalu konsisten. Kalau pemerintah bagus, akan kami bilang bagus. Kami tidak asal mengkritik dan memberikan jalan keluar.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan Balasan