Jika ingin bersaing di level internasional, Indonesia harus menjadi basis produksi mobil jenis sedan dan SUV.
Industri otomotif dalam negeri sepertinya cukup gembira dengan kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Jepang dan China. Dalam lawatannya selama sepekan sejak Ahad (22/3) lalu, Presiden berhasil membujuk raksasa-raksasa otomotif dari negeri matahari terbit dan negeri tembok raksasa untuk membuka dompet mereka dan berinvestasi di Indonesia.
Dengan iming-iming prospek penanaman modal yang menarik dan insentif, seperti kemudahan perizinan dan pengurangan pajak, Jokowi sukses mengantongi komitmen investasi dari perusahaan otomotif Jepang dan China. Nilainya menggiurkan, masing-masing US$ 1 miliar dari Toyota Motor Corp dan Suzuki Motor Corp. Sedang SAIC Motor Corp dan Liuzhou Wuling berencana membangun pabrik mobil murah hemat energy alias low cost green car (LCGC) dengan nilai US$ 700 juta.
Upaya pemerintah merayu para principal otomotif untuk berinvestasi di negara kita akan mendongkrak produksi mobil cukup tinggi. Sebab, salah satu principal yang berhasil dirayu untuk menanamkan duitnya, Toyota Motor merupakan produsen mobil dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia. Toyota saat ini memproduksi 400.000 mobil per tahun bakal meningkatkan kapasitasnya menjadi 600.000 unit.
Berdasarkan data ASEAN Automotive Federation (AAF), tahun lalu negara kita memproduksi 1.298.523 mobil. Jumlah ini memang masih kalah jauh dibanding produksi Thailand sebanyak 1.880.007 unit. Tapi, masih jauh lebih banyak ketimpang negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia dan Vietnam yang masing-masing hanya membuat mobil 596.418 unit dan 121.084 unit.
Produksi mobil yang besar seiring permintaan pasar domestic yang jumbo. Lihat saja data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Galkindo). Dari total penjualan 1.208.019 unit sepanjang 2014 lalu, sebanyak 90% diserap oleh konsumen local dan sisanya ditujukan untuk ekspor.
Meski masih kecil, angka ekspor mobil kita meningkat dalam 10 tahun terakhir. Tahun 2014, misalnya, penjualan mobil completely build-up unit (CBU) ke luar negeri mencapai 202.273 unit, naik 18,35% dibanding tahun 2013 yang hanya 170.907 unit.
Pertumbuhan Pesat
Peningkatan ekspor otomotif adalah cita-cita pelaku industry dan pemerintah, terutama menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Sebab, otomotif merupakan salah satu sector industry yang masuk prioritas integrasi MEA. Tujuannya, negara-negara anggota ASEAN menjadi basis produksi yang terintegrasi untuk industry otomotif. Tujuannya bukan saja untuk memasok Asia Tenggara tapi juga pasar Asia dan dunia.
Pasar otomotif Asia tenggara sendiri, walau secara jumlah tidak besar, pertumbuhannya terhitung pesat dibandingkan dengan wilayah atau negara lain di dunia. Jika pasar otomotif negara maju mengalami stagnansi, pasar kendaraan roda empat ASEAN diprediksi justru melejit hingga 35% pada 2020 mendatang ketimpang penjualan total seluruh ASEAN yang mencapai 3,5 juta unit tahun lalu. Ini akan menarik investasi produsen otomotif dunia yang ingin menyasar pasar ASEAN.
Saingan paling berat pastinya datang dari Thailand. Negeri gajah putih memang sempat terpuruk selama dua tahun terakhir. Setelah badai politik menerpa 2012 lau, hampir semua sector ekonomi termasuk otomotif Thailand tiarap. Penjualan mobil mereka pun turun tajam sebesar 34% dari 1.330.672 unit di 2013 menjadi tinggal 881.832 unit pada 2014.
Setelah badai politik mereda, Thailand bersiap untuk bangkit dan menegaskan dominasi di ASEAN. Federation of Thailand Industries (FTI) menyatakan, tahun 2015 sebagai awal baru bagi kebangkitan industry otomotif Thailand. Industri otomotif mereka akan melakukan rebound dengan mengerek target produksi dan penjualan.
Menurut Soehari Sargo, pengamat otomotif, posisi Indonesia memang vital mengingat pasar dalam negeri yang cukup besar. Dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara dan jumlah kelas menengah mencapai 70 juta orang, negara kita adalah madu yang memancing negara pengekspor semacam Thailand. “Target produksi mobil Thailand tahun ini sebanyak dua juta unit, hampir 50% untuk pasar ekspor,” ujarnya.
Menjelang pelaksanaan MEA, Soehari melihat empat hal yang harus dibenahi pemerintah bersama pelaku industry otomotif: mata rantai suplai yang belum kuat, persoalan daya saing seperti infrastruktur, kapasitas sumber daya manusia, dan permodalan. Namun, yang paling penting untuk diperhatikan adalah industri pendukung yang memasok bahan baku, seperti baja dan alumunium, lantaran belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sebagai contoh perbandingan, Soehari bilang, produksi baja Thailand sudah mencapai delapan juta ton per tahun, jauh di atas Indonesia yang hanya sekitar lima juta ton. Indonesia bisa saja menjadi tujuan ekspor bahan baku dari industry pendukung otomotif Thailand yang sudah jauh lebih mapan. Bahkan, produsen skala besar seperti PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) masih mengimpor bahan baku dari Thailand dan Jepang.
Rahmat Samulo, Direktur Marketing Toyota Astra Motor, berpendapat lain. Menurutnya, untuk urusan pasar dalam negeri, kesiapan industry otomotif lokal sudah cukup bagus. Kekuatan Indonesia justru terletak pada keberhasilan membentuk karakteristik pasar dalam negeri yang unik. Tonggak awalnya muncul setelah pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang LCGC yang mampu menciptakan satu segmen baru. “Industri otomotif nasional makin berkembang setelah LCGC mucnul,” kata Rahmat.
Selain itu, hampir 50% pasar dalam negeri didominasi mobil jenis low multi-purpose vehicle (MPV). Alhasil, Rahmat menegaskan, tidak perlu ada kekhawatiran karena eksportir mobil di kawasan ASEAN lebih banyak memproduksi sedan dan sport utility vehicle (SUV).
Cuma, agar semakin siap menghadapi MEA 2015, pemerintah harus membangun dan memperkuat industry komponen, baik tier I (utama), tier II(pendukung), maupun tier III (tambahan). “Karakter demand kita beda dengan negara lain dan tidak banyak diproduksi di luar Indonesia,” ujar Rahmat.
Lagipula, komposisi mobil yang diproduksi di dalam negeri sudah tinggi. Khusus Toyota, Rahmat mengatakan, dari produksi 400.000 unit per tahun, mobil CBU dari luar negeri kurang dari 10%.
PPnBM diturunkan
Sedang untuk pasa ekspor, Toyota mengandalkan produk SUV seperti Fortuner. Sepanjang tahun lalu, Toyota mengekspor 160.000 unit. Kontribusi terbesar disumbang Fortuner, sebanyak 54.000 unit. Selanjutnya, Avanza 37.000 unit dan Vios 28.000 unit. Tujuan ekspor Toyota adalah negara-negara di kawasan Asia-Pasifik, Amerika Ltin, Karibia, Timur Tengah, serta Afrika.
Begitu juga dnegan Suzuki. Davy J. Tuilan, 4W Sales, Marketing and DND Director PT Suzuki Indomobil Sales, menuturkan, dari total penjualan 12.000 unit, produk impor hanya 5%. Impor yang paling besar adalah Ertiga. Meski begitu, jumlah mobil Suzuki yang diekspor masih lebih besar. Dalam sebulan Suzuki Indomobil mengekspor 2.500 unit Suzuki APV dan minibus.
Jongkie Sugiarto, Ketua Galkindo, mengatakan, Indonesia memiliki industry otomotif yang kuat tapi jago kandang. Negara kita merupakan basis produksi untuk mobil MPV. Sayang, konsumsi MPV di pasar internasional tergolong kecil. “Pasar terbesar MPV, ya, Indonesia sendiri,” katanya.
Nah, jika ingin bersaing di level internasional, Jongkie bilang, Indonesia harus menjadi basis produksi sedan SUV. Soalnya, permintaan SUV dan sedan yang paling tinggi. Enam dari 10 mobil terlaris di duni adalah sedan dan SUV.
Peran pemerintah jelas sangat penting kalau ingin menjadikan Indonesia sebagai basis produksi sedan dan SUV. Caranya, pemerintah harus mengundang principal untuk memproduksi mobil di negara kita. Tapi, untuk menarik minat principal, kita terkendala penjualan sedan dan SUV yang rendah.
Masalah datang dari harga sedan dan SUV yang terbilang tinggi. Saat ini, sedan kena pajak penjualan barang mewah (PPnBM) paling tinggi. Tarifnya mulai 30% untuk sedan dengan kapasitas mesin paling kecil (di bawah 1.500 cc) hingga 75% untuk kapasitas mesin paling tinggi (2.500-3.000 cc).
Itu sebabnya, Jongkie mengusulkan agar pemerintah membuat kategori lebih spesifik. Contoh, sedan kecil 1.500 cc tidak digolongkan sebagai kendaraan mewah. Alhasil, Indonesia bisa saja mengulang sukses penjualan MPV dan LCGC jika PPnBM sedan diturunkan.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar