Tepat di akhir April kemarin, usia pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla telah menginjak enam bulan, sejak kabinet kerja terbentuk akhir Oktober 2014. Selama enam bulan ini, masyarakat tentu sudah bisa menorehkan penilaian kepada pemerintahan Jokowi-JK di benak masing-masing: warna merah jika tidak puas dengan kebijakan ekonomi Jokowi-JK atau sebaliknya.
Hasil survei “kecil-kecilan” Harian KONTAN (27/4) pekan lalu menarik untuk kita cermati. Survei yang diadakan pada 20-24 April 2015 terhadap 250 responden di Jakarta dan sekitarnya itu cukup menggambarkan isi hati masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Apa penyebab ketidakpuasan masyarakat, juga bisa dilihat dari survei tersebut. Sebagian besar responden survei berusia antara 25 tahun hingga 55 tahun ini menyebut dua alasan utama ketidakpuasannya: harga-harga kebutuhan pokok naik (sebanyak 36,8% dari total responden) dan harga bensin naik (30,8%). Hanya 2% yang menyebutkan kisruh polisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai alasan ketidakpuasannya.
Hasil survei ini relatif senada dengan hasil survei oleh lembaga lain. Sebut saja Poltracking Indonesia: sebanyak 48,5% responden tidak puas dengan pemerintahan Jokowi-JK, sedangkan masyarakat yang puas dengan pemerintahan jokowi hanya sebesar 44%. Selebihnya tidak berpendapat.
Kenaikan harga dua komoditas penting di masyarakat ini merupakan imbas kebijakan pemerintah yang menghapus subsidi premium dan menerapkan subsidi tetap terhadap solar. Sejak itu kenaikan maupun penurunan harga energi akan sering terjadi, menyesuaikan dengan harga di pasar internasional. Harga energi akan naik atau turun secara berkala, sebulan atau dua bulan sekali.
Pemerintah telah beberapa kali menaikkan dan menurunkan harga premium dan solar dengan alasan mengikuti harga pasar dunia. Ketika harga energi ini naik, harga barang dan transportasi langsung mengekor naik.
Masalahnya, saat harga energi turun, harga barang dan transportasi, tidak segera turun. Setelah diributkan, dihimbau, harga barang dan transportasi perlahan turun.
Di sinilah kelemahan pemerintah Jokowi-JK karena tidak mampu mengendalikan harga yang berlaku di masyarakat, mengikuti penurunan harga energi. Sampai saat ini, kenaikan harga barang pokok seperti beras menjadi momok di tengah masyarakat.
Penurunan popularitas adalah harga yang harus dibayar oleh Jokowi-JK beserta kabinet kerjanya karena menempuh kebijakan yang tidak popular di mata masyarakat seperti menghapus subsidi premium. Tapi, di sisi lain, pemerintah tentu tidak boleh bersikap cuek atas penurunan popularitas ini.
Sayangnya, bagi saya, Presiden jokowi terkesan masih cuek dengan popularitasnya yang sedang turun. Di acara silaturahmi Pers Nasional (27/4), Presiden berkata: Popularitas saya turun… Saya tahu kebijakan kami awalnya menyakitkan, tetapi lihat tiga sampai lima tahun kedepan, kalau ternyata tak betul, ya sudah…” tutur Presiden tanpa menjelaskan lebih detil.
Sikap seperti yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi boleh jadi karena keyakinan mendalam dengan kebijakan yang akan ditempuh. Sikap seperti ini memang dapat dikatakan tegas, namun belum tentu berdampak baik bagi masyarakat. Di samping meyakini kebijakan yang ditempuh sudah benar, Presiden jokowi dan kabinetnya tetap harus memberikan ruang untuk mendengarkan pendapat masyarakat, bukan sekadar mendengarkan pendapat komunitas pengusaha dan investor.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar