Ekonomi Dunia di Ambang Resesi

23NEW YORK. Lepas dari ancaman krisis utang Yunani, giliran China yang bakal “mengobrak-abrik” perekonomian dunia. Negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar kedua di dunia ini sedang di bawah bayang-bayang krisis ekonomi. Alhasil, China berpotensi menjadi sumber utama kerentanan perekonomian global.

Ruchir Sharma, Head of Emerging Market Morgan Stanley Investment Management, memprediksikan, kelanjutan perlambatan ekonomi China di tahun-tahun berikutnya bisa menyeret pertumbuhan ekonomi global di bawah 2%. Angka tersebut setara dengan resesi dunia dan menjadi kemerosotan ekonomi dunia pertama selama 50 tahun terakhir, tanpa memperhitungkan kontraksi dari Amerika Serikat (AS). “Resesi global berikutnya akan didorong oleh China,” ujar Sharma yang mengelola aset lebih dari US$ 25 miliar seperti dikutip Bloomberg.

Kondisi domestik China bakal berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi global. Sebab, kontribusi Negeri Tembok Raksasa semakin tambun dalam beberapa tahun belakangan. Lihat saja, pada 2010 China hanya menyumbang 23% terhadap perekonomian global. Namun, di 2014 lalu ekonomi China sudah berkontribusi 38%.

Menurut Sharma, laju ekonomi China terus melambat karena banyak negara-negara yang berjuang untuk mengurangi utang mereka. Maklum, China adalah importir terbesar untuk tembaga, alumunium, dan kapas. Mitra dagang China terbesar mulai Brasil sampai Afrika Selatan.

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi global melambat menjadi 3,3% tahun ini, turun dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,5%. Meski begitu, lembaga yang berkantor pusat di Washington, AS, ini belum mengubah prediksi pertumbuhan ekonomi China yakni tetap 6,8% atawa terendah sejak tahun 1990.

Hindari saham China

Melihat kondisi global ke depan, Sharma memberi saran agar investor menghindari saham perusahaan-perusahaan asal China. Selain itu, pemodal juga menjauh dari saham negara-negara yang menggantungkan pertumbuhan kepada China termasuk Brasil, Rusia, serta Korea Selatan. Sebaliknya, Sharma menyarankan untuk membeli saham perusahaan-perusahaan di Eropa Timur dan Asia, seperti Filipina, Vietnam, dan Pakistan.

Selama beberapa minggu terakhir, pasar ekuitas China yang bernilai US$ 6,8 triliun telah mengguncang investor global setelah reli selama setahun. Indeks Shanghai merosot lebih dari 30% dalam empat pekan setelah 8 Juni. Penurunan indeks Shanghai ini menyapu keuntungan investor hingga US$ 2,8 triliun.

Pemerintah China pun mengintervensi pasar modal guna mencegah kemerosotan lebih dalam. Regulator melarang pemegang saham utama atau dengan kepemilikan lebih dari 5% untuk menjual sahamnya selama enam bulan. Tak hanya itu, pemerintah juga membekukan perdagangan lebih dari separo perusahaan yang terdaftar di bursa.

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar