Rupiah Loyo, Harga Obligasi Rontok

indexMasih ada peluang, yield FR0070 turun ke kisaran 8% pada akhir tahun.

JAKARTA. Pelemahan rupiah merontokkan harga surat utang negara (SUN). Koreksi harga obligasi pemerintah tercermin pada indeks Inter Dealer Market Association (IDMA) yang turun 0,77% e level 93,11 pada Selasa (8/9). Ini posisi terendah sejak Februari tahun lalu.

Sepanjang tahun ini, indeks harga obligasi pemerintah juga sudah terpangkas 6,13%. Tak heran, yield SUN seri acuan alias benchmark terus melonjak. Pada Selasa (8/9), yield seri FR0070 bertenor 10 tahun bertengger di level 9,13%. Padahal akhir tahun lalu masih di posisi 7,75%.

Analis obligasi BNI Securities I Made Adi Saputra menilai, pelemahan ruipiah menjadi faktor utama yang menjatuhkan harga obligasi. Di pasar spot, rupiah sudah terseret ke level Rp. 14.280 per dollar AS.

Sentimen makin lemah lantaran cadangan devisa Bank Indonesia per Agustus lalu tersisa US$ 105,34 miliar. Jumlah ini menyusut US$ 2,3 miliar dibandingkan posisi bulan sebelumnya. “Kemampuan BI mengintervensi pelemahan rupiah berkurang,” ujar Made.

Menurutnya, saat ini, kebutuhan dollar AS di dalam negeri untuk membayar utang luar negeri cukup besar. Pada awal tahun, pemerintah terbantu dengan adanya penerbitan instrumen utang berdenominasi valuta asing.

Menurut analis Infovesta Utama Praska Putrantyo, pelemahan rupiah lebih dipicu spekulasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed). Speulasi semakin kuat menjelang pertemuan dewan moneter The Fed pada FOMC meeting, 16-17 September nanti. Belum adanya kepastian inilah yang menggerus nilai rupiah. “Akibatnya, investor asing lebih berhati-hati. Mereka khawatir terpapar kerugian saat mengkonversikan hasil transaksi mereka dari rupiah menjadi dollar AS,” tuturnya.

Sikap investor asing sangat mempengaruhi pergerakan harga obligasi negara. Maklum, saat ini, sekitar 37,76% Surat Berharga Negara (SBN) digenggam investor asing.

Lanjut Praska, pasar obligasi semakin fluktuatif karena profil risiko berinvestasi di Indonesia memburuk. Ini tercermin pada credit default swap (CDS) yang terus naik. Senin (8/9), CDS lima tahun menyentuh level tertinggi sejak Oktober 2014, yakni 250,45. Sepanjang tahun ini, angka CDS sudah naik 55,73%.

Begitu juga CDS 10 tahun sepanjang tahun ini sudah naik 40,55% ke level 323,85. Semakin beresiko berinvestasi di suatu negara, semakin tinggi CDS wilayah tersebut.

 

 

Yield masih bisa turun

Meski demikian, Praska masih melihat peluang pasar obligasi domestik pulih pada akhir tahun ini. Menurutnya, besar peluang target inflasi dalam negeri yang dipatok 4% (±1) dapat tercapai. “Ekspektasi realisasi anggaran belanja pemerintah terutama sektor infrastruktur akan mendukung perbaikan ekonomi,” katanya.

Made menambahkan, menipisnya suplai surat utang di pasar primer bisa menjadi faktor penopang harga obligasi. Per 1 September 2015, pemerintah telah merealisasikan penerbitan SUN hingga 85,8% dari total target tahun ini sebesar Rp 452,18 triliun.

Artinya, hanya tersisa kuota penerbitan SUN senilai Rp 64,2 triliun. Sisa jatah tersebut ditutup dari peluncuran Obligasi Ritel Indonesia seri ORI012 pada pertengahan September ini, serta lelang SUN dan sukuk regular. “Suplai yang minim bisa mendongkrak harga,” jelasnya.

Namun, kenaikan itu terbatas karena pelemahan rupiah. Apalagi, masih ada ancaman pelemahan rupiah apabila The Fed mengundur kenaikan suku bunga. Ketidakpastian bisa menggoyang rupiah. Memang, di sisi lain, pelemahan rupiah bisa mengerek tingkat yield obligasi. “Tapi, tetap saja investor asing mempertimbangkan potensi kerugian valas dan kenaikan CDS,” terang Made.

Prediksinya, akhir tahun ini, yield seri FR0070 bisa turun ke level 8,9%. Praska menduga, yield di kisaran 8% – 9% pada tutup tahun ini.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar