Pada 21 Juni lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi industri galangan kapal di Batam, Kepulauan Riau. Pada kesempatan dialog dengan pelaku industri langan kapal di PT Anggrek Hitam, ia menyatakan, akan melarang impor kapal. “Kita bisa membangun sendiri. Di Batam saja, ada 104 galangan kapal,” kata Jokowi.
Pemerintah berdalih, kebijakan melarang impor kapal karena kapasitas galangan kapal dalam negeri sebenarnya mampu memenuhi kebutuhan.
Namun, selama ini, pemanfaatan galangan kapal lokal masih minim perhatian pemerintah. Buktinya, masih banyak kapal produk impor yang dibeli langsung oleh pemerintah. Apalagi pengusaha swasta, yang lebih doyan impor kapal lantaran harganya jauh lebih murah. Tak pelak, hampir 80% kapal yang berlayar di nusantara adalah buatan asing.
Apa yang membuat harga kapal di dalam negeri lebih mahal? Usut punya usut, harga kapal di dalam negeri lebih mahal? Usut punya usut, harga kapal lokal terbilang mahal karena dibebani bermacam-macam pajak seperti, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN), impor komponen 10%, dan cukai 12,4%. Celakanya, pajak-pajak tersebut harus ditanggung sendiri oleh pengusaha.
Untuk produksi kapal, Batam, masih menjadi andalan. Meski industri galangan kapal di Batam banyak mendapat fasilitas dan pembebasan pajak karena sebagai free trade zone (FTZ) atau zona perdagangan bebas, tetap saja secara nasional masih tertinggal. “Jumlah galangan kapal se-indonesia sekitar 250 perusahaan. Sebanyak 104 di antaranya berada di Batam,” sebut Tjahjono Roesdianto, Dewan Penasehat Ikatan Perusahaan Kapal Nasional dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo).
Apalagi galangan kapal di Batam lebih berorientasi pasar ekspor ketimbang kebutuhan dalam negeri. Ini tidak terlepas dari status perusahaan yang mayoritas penanaman modal asing (PMA). Kini, industri galangan kapal di Batam menghadapi persoalan serius akibat penurunan produksi kapal yang sudah berlangsung lima tahun belakangan ini.
Tjahjono mengungkapkan, permintaan pasar dunia yang sepi dan kalah bersaing dengan produsen kapal asal china membuat industri galangan kapal di Indonesia secara nasional stagnan.
Dari 104 galangan kapal di Batam, hanya 20%-30% yang masih berproduksi. Setali tiga uang dengan kondisi industri galangan kapal di luar Batam, yang terpusat di Jawa dan Kalimantan. Ya, sama-sama sedang merana karena banyak menanggung beban fiskal, selain tertinggal dalam teknologi.
Tak pelak, beban semakin berat harus dipikul pengusaha galangan kapal di luar Batam. Maklum, mereka berada di areal pelabuhan-pelabuhan, yang di antaranya milik PT Pelindo, dengan bea sewa cukup tinggi. Dampaknya adalah harga kapal mahal sehingga sulit bersaing dengan kapal impor.
Tjahjono bilang, disparitas harga antara produk kapal lokal dengan luar negeri sekitar 30%. Sebab itu, Iperindo menagih janji pemerintah yang akan memberikan insentif fiskal bagi galangan kapal di luar Batam supaya berkembang pesat.
Sesuai data Kementerian Perindustrian, kapasitas produksi galangan kapal Indonesia terbilang besar, yakni mencapai 1.000.000 dead weight ton (DWT) per tahun. Adapun tahun 2014, realisasinya hanya mencapai 500.000 DWT.
Di samping bikin kapal baru, industri galangan kapal Indonesia bisa melakukan reparasi kapal dengan kapasitas 12.000.000 DWT. Tahun lalu, kapal yang sudah direparasi mencapai 15.000.000 DWT.
Sejatinya industri galangan kapal tumbuh positif. Namun selama lima tahun belakangan, angkanya tidak lebih dari 10% itu berarti kalah jauh dibandingkan dengan industri galangan kapal china, yang pertumbuhannya bisa di atas 20% per tahun.
Tidak kompetitif
Memang, pemicu lambatnya pertumbuhan industri galangan kapal di dalam negeri tidak terlepas dari pengenaan bea masuk komponen berkisar 5%-12,4%, ditambah PPN 10% terhadap penyerahan atau penjualan kapal. Alhasil, struktur biaya pembangunan kapal baru di Indonesia menjadi tidak kompetitif.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah pun membuat pengusaha kian terjepit lantaran sekitar 60%-70% komponen berasal dari impor yang dibayar menggunakan dollar Amerika Serikat. Sementara kapal dijual di dalam negeri dalam denominasi rupiah.
Atas dasar itu, pemerintah lewat paket penyelamatan ekonomi dalam salah satu kebijakannya menyasar sektor perhubungan dan transportasi laut, termasuk di dalamnya industri galangan kapal.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro bilang, pemerintah akan membebaskan PPN industri galangan kapal, lewat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003. Cuma, hingga saat ini, revisi beleid tersebut belum kelar juga.
Direktur keuangan PT Soechi Lines Tbk (SOCI) Paula Marlina menanggapi positif langka pemerintah yang mulai memprioritaskan pengembangan industri galangan kapal nasional. “Sudah saatnya galangan kapal diperhatikan karena bisa menyerap lapangan kerja dan menghasilkan produk dalam negeri yang efeknya berlipat ke sektor lain,” katanya.
Direktur PT Logindo Samuderamakmur Rudi Kurniawan Logam menilai, jika insentif segera diterbitkan, maka produksi kapal di dalam negeri akan meningkat. “Saat ini, industri galangan kapal baru bisa memenuhi 20% kebutuhan nasional,” katanya.
Hal senada diutarakan Carmelita Hartono, Ketua Indonesia Nasional Shipowners Association (INSA), yang juga menanti realisasi insentif untuk industri kapal ini. Apabila insentif diterbitkan, maka anggotanya bisa membeli kapal yang lebih murah dari dalam negeri. “Saat ini harga kapal Indonesia lebih mahal daripada harga kapal negara lain,” jelasnya.
Tapi efek pembebasan PPN bagi galangan kapal ini pengaruhnya belum jelas seberapa besar. Apakah berlaku saat pembelian bahan baku atau saat penjualan kapal. “Jadi belum clear, yang pasti kebijakan akan dinikmati oleh galangan kapal di luar free trade zone (FTZ),” imbuh Paula.
Industri kapal butuh kepastian, bukan janji-janji.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar